PENDEKATAN BAHASAN SENI RUPA

1.       Pendekatan Bahasan Seni Rupa

    Pembahasan teori dengan pendekatan lintas wilayah keilmuan telah menjadi bagian penting dalam pembicaraan bidang-bidang keilmuan. Membicarakan seni rupa sebagai kajian keilmuan, tidak lagi terbebas dari masuknya tinjauan dengan pendekatan bidang ilmu lain. Bidang kajian antropologi, sosiologi, dan psikologi, sudah lama menjadi bidang kajian yang melengkapi pendekatan bahasan seni rupa. 

    Para antropolog telah lama tertarik untuk mengumpulkan data tentang hasil budaya fisik, hasil kegiatan masyarakat yang visual, yaitu karya-karya seni rupa. Bahasan para antropolog ini telah melahirkan sebutan yang kini melengkapi nama bidang kajian antropologi menjadi antropologi budaya. Batasan pengertian bidang budaya yang menjadi bagian kajian antropologi, ternyata, adalah bidang-bidang kesenian. Di dalamnya dicatat dan dibahas masalah-masalah yang terkait dengan benda-benda tinggalan masa lalu ataupun benda-benda masa kini apa adanya. Dari kegiatan-kegiatan tersebut lahir sebutan pendekatan entografi tetapi dengan penekanan pada perubahan pendekatan yang sekaligus sebagai revisi terhadap pola pendekatan antropolog yang hanya “sekadar” mencatat sesuatu itu sebagaimana apa adanya. Dari kegiatan-kegiatan tersebut lahir sebutan pendekatan entografi tetapi dengan penekanan pada perubahan pendekatan yang sekaligus sebagai revisi terhadap pola pendekatan antropolog yang hanya “sekadar” mencatat sesuatu itu sebagaimana apa adanya.

2.       Pendekatan Antropologi tentang Seni Rupa

Pandangan para antropolog tentang keberadaan seni rupa, tampaknya, harus menjadi bahan kajian bagi para pemerhati seni rupa. Para antropolog tidak pernah memilah bahasan seni rupa berdasarkan kelompok utama-remeh atau murni-terap. Karena kegiatan seni adalah bagian dari kegiatan manusia, “seni tidak bisa dipisahkan dari kehidupan” (Herkovits, 1955: 234). Bahasan para antropolog tentang arts, seni, seni rupa ini, terutama memperhatikan bentuk, tenkik pembuatan, motif hias, dan gaya (Koentjaraningrat, 1990: 380).

Bentuk dan jenis karya seni rupa yang disebut oleh para antropolog atau pun penyusun buku yang lebih condong menggunakan cara pendekatan antropologis dalam bahasan isi bukunya berikut:

·         Rene S. Wassing (1968) lewat satu bukunya African Art (286 halaman), menampilkan benda-benda seni rupa lengkap dengan gambar berwarna, masing-masing sehalaman penuh. Benda-benda seni rupa tersebut antara lain: topeng berbentuk topi penutup kepala (mirip helm), topeng, ukiran cadas, kotak minyak wangi, patung kecil, kapak upacara, tenunan, pot bunga, keranjang, patung kepala, tempat duduk tanpa sandaran, piagam, cangklong, gerabah, batik, sendok upacara, dan terompet. Ditampilkan pula mangkuk, kotak bertutup, genderang upacara, sisir, sandaran leher, piala, bejana, tempat madu,pakaian, makam, tongkat tari, sampiran anak panah, kursi, gelang, pintu, lonceng, kecapi, tali leher, lampu minyak, tempat susu, kotak tembakau, boneka, dan tameng tentara.

·         Buku Introduction to Cultural Anthropology (1968) yang disusun oleh James A. Clipton (Ed.), terdiri atas 18 bab, 540 halaman. Salah satu bab, 40 halaman, secara khusus membahas Art in the Life of Primitive Peoples. Benda-benda seni rupa yang ditampilkan, sebagian dilengkapi gambar penjelas, adalah: selimut, topeng (benda yang paling banyak dibahas), patung (bentuk manusia), piagam, lukisan, dan tenunan.

·         Buku yang lain, Art and Life in New Guinea (1979) yang didudun oleh Raymond William Firth, berisi bahasan tentang karya-karya seni rupa yang lebih beragam. Buku setebal 130 halaman ini menampilkan ikat pinggang, perahu, rumah, tengkorak kenang-kenang-an (skull-trophies), haluan perahu, kapak, alu batu, topeng, tas, mangkuk, sudip, tempat menyimpan kapur, pedang, pemukul (senjata), cangklong, kotak bambu, seruling, kepala tongkat, genderang, pinggiran topi, tempat duduk, tongkat tari, tameng, dan kuburan. Jenis benda yang paling banyak ditampilkan adalah haluan perahu, tameng, sudip, dan genderang.

·         Buku yang lebih khusus berbicara tentang seni rupa dengan pendekatan antropologi, The Anthropology of Art, terdiri atas 5 bab, 227 halaman, disusun oleh Robert Layton (1981). Buku ini berisi pembicaraan seni primitif yang langka disinggung oleh para “senirupawan” --apalagi tentang seni rupa primitif bangsa-bangsa Eropa-- dengan bahasan yang cukup mendalam. Salah satu jenis seni primitif Indonesia yang dibahas dalam buku ini adalah Seni Asmat.

·         Frits A. Wagner, menyusun buku Indonesian The Art of Island Group (1959), bahasannya mencakup seni rupa Indonesia dengan latar belakang pendekatan sejarah, sosiologi, dan agama. Wagner membagi bahasan isi bukunya (257 halaman) ke dalam 13 bagian. Dimulai dengan bahasan The Neolithic Age dan ditutup dengan Indonesia in the 19th and 20th Centuries. Benda-benda seni rupa yang dibahas oleh Wagner antara lain: kapak persegi, kapak upacara, keranjang, nekara, topi, topeng tari, kendi, patung mini, tempat air dari bambu, hampatong, patung nenek moyang, pedang, bejana, gelang, relief, nandi, makara, wayang kulit, wayang klitiik, wayang golek, gunugngan, candi, songket, piring, canting, keris, jaran kepang, angklung, benteng, paduraksa, lamak, pintu, lukisan, patung, dan lagi yang lain.

Setiap negara memiliki akuan tentang seni (rupa) utama --meminjam istilah paham pengelompokan seni rupa Barat. Hal itu sangat erat terkait dengan latar belakang sistem nilai dan kaidah budaya yang berlaku pada suatu negara. Dengan melihat, meneliti, memilah, mempertimbangkan, serta menilainya secara bijak dan lebih awas, kita bisa menentukan sikap penilaian terhadap hasil karya seni rupa Indonesia. Membangun negara Indonesia bukan hanya para pekota, kaum terpelajar, seniman, golongan profesional, atau para ahli semata. Kaum pinggiran, para pelaku “seni remeh”, wong cilik, tidak kalah penting peranannya dalam menegakkan tiang ekonomi negara!

Tidak disadari bahwa nama besar Indonesia, lebih khusus nama Bali yang kadang seolah “terpisah dari Indonesia di mata masyarakat mancanegara, adalah karena hasil karya para pedusun, pedesa, yang karyanyanya tidak pernah dikenal nama pembuatnya. Begitu banyak cinderamata yang dihadiahkan kepada para tamu negara, berasal dari hasil karya para pedesa, para perajin! Tidakkah disadari bahwa betapa jumlah masukan untuk devisa negara yang disumbangkan dari hasil penjualan beraneka benda “seni remeh”? Jika ditelusuri lebih jauh lagi, Pemerintah masih belum menempatkan pendidikan seni sebagai bagian penting dalam kurikulum pendidikan Indonesia. Padahal kegiatan seni adalah kegiatan sehari-hari masyarakat Indonesia, bahkan menjadi andalan ekspor negara ketika migas tidak lagi menjanjikan masukan devisa negara.

2.1 BAGAIMANA KELUARGA MENYIASATI TEKNOLOGI?

Oleh Jajang Suryana

(Dimuat dalam Bali Post, 31 Desember 2000)

Perkembangan perangkat teknologi kita rasakan sangat pesat. Tahun 70-an, televisi masih dirasakan sebagai “kotak ajaib” yang hanya dimiliki orang-orang kaya tertentu saja. Atau, lebih ke belakang lagi, radio pun bisa dirasakan sebagai “benda aneh” yang bisa omong. Kini, radio dan teve hanyalah benda amat biasa. Anak kecil pun bisa “menguasai” benda tersebut. Bahkan, ketika muncul komputer dan handphone, itu pun kini telah menjadi benda lumrah. Begitu banyak anak yang telah berkenalan, malah sangat akrab, dengan dunia penikmatan hasil teknologi elektronik tersebut. Menikmati radio di satu sisi hanya memberi kepuasan audio saja. Pendengaran adalah perangkat utama yang digunakan oleh seseorang ketika menikmati acara radio. Interaksi pendengar, selain dilakukan lewat surat, kini, bisa dilakukan lewat pesawat telefon. Seorang penyiar yang disukai pendengar acara radio bisa “didekati” lewat sambungan telefon tersebut. Radio, dalam keterbatasan dan kelebihannya, hingga kini, masih banyak peminatnya, termasuk kelompok anakanak. Lebih lengkap dibanding radio, teve bersifat audio-visual. Penikmat acara teve bisa lebih lengkap merasakan kehadiran penyiar, penyanyi, pelawak, atau pun bintang film dan sinetron. Dalam proses interaksi antara penikmat dengan penyaji acara, seperti pada acara radio, bisa dilakukan lewat surat dan telefon. Namun penikmat acara bisa lebih lengkap menyaksikan penyaji acara secara visual. Lewat media massa jenis ini, banyak anak yang kemudian tergila-gila dengan bintang idola mereka. Salah satu jenis acara yang menjadi sumber peniruan bagi anak-anak adalah film kartun.

 

LEMBAGA PENDIDIKAN

Banyak ahli pendidikan yang kemudian percaya bahwa media teve bisa menjadi Lembaga pendidikan. Sejalan dengan peran televisi sebagai media hiburan, maka materi tayangan pendidikan yang dikemas dalam acara teve juga harus bersifat menghibur. Seperti disebutkan oleh Eduard Depari, “jika unsur kemasan diabaikan, tidak mustahil tayangan tersebut akan kehilangan daya tariknya”.

Tentang besarnya pengaruh langsung acara teve kepada penonton cukup banyak bukti yang bisa diperhatikan di sekitar kita. Ketika teve swasta banyak menayangkan acara tele novela Mexico-an, begitu banyak ibu-ibu yang kemudian memiliki jadwal-tonton yang rutin. Jadwal tersebut tak bisa diubah. Tangisan dan keributan anak pada saat tayangan berlangsung, tidak akan bisa mengganggu acara menonton. Bahkan, anak-anaklah yang mendapat dampratan, karena dianggap mengganggu acara menonton tayangan kesukaan ibu. Kesukaan ibu-ibu dalam menonton berlanjut dengan munculnya film-film kungfu yang diwarnai cerita drama percintaan. Begitu pun ketika muncul pula cerita wayang (India), drama percintaan (Jepang), dan juga tak ketinggalan sinetron seri buatan dalam negeri sendiri yang kebanyakan tayangannya sama dengan tele novela.

Maraknya aneka jenis video game, disusul dengan menjamurnya play station yang berbarengan dengan memasyarakatnya internet, menjadi lahan perluasan jenis hiburan, terutama, bagi anak-anak. Dunia maya, dunia yang dibangun dalam format digital, telah menjadi dunia penikmatan imajinasi anak-anak. Penemuan teknologi 3D yang semakin sempurna telah menolong para gamer untuk mengembara mengikuti hayalan para programer aneka jenis mainan.

Perkembangan teknologi dampak awalnya bertalian dengan kemaslahatan umat. Tetapi kemudian, kemajuan teknologi telah turut memajukan dan menganekargamkan jenis kejahatan. Tujuan buruk pun telah dikemas sedemikian rupa hingga tampilannya tetap terselubung dalam bungkus mainan. Kekerasan yang menjadi pola film animasi keluaran beberapa perusahaan software dan komik Jepang, misalnya, yang mengandalkan penyelesaian cerita dengan pembunuhan, sangat “disukai” oleh anak-anak kita.

Dunia robot seperti pada cerita Pokemon dan Digimon, dalam batas-batas tertentu banyak memberi sumbangan imajinasi teknologis yang lumayan kepada anak-anak. Entah bagaimana kreatifnya para pedagang mainan anak-anak dalam memanfaatkan tokoh yang sedang digandrungi oleh anak-anak. Dunia Mickey Mouse, Donald Duck, Power Ranger, Ninja Hatori, dan Doraemon yang juga pernah diolah para pedagang, sedikit demi sedikit digeser oleh ketenaran para robot Pokemon. Buku tulis, buku bacaan, kartu mainan, permen, kancing tempel, tas sekolah, kaos anak-anak, alat-alat makan, bahkan pelapis tempat tidur dan bantal, semua dihiasi gambar tokoh-tokoh Pokemon. Orang tua tak bisa menahan hasrat anak-anak untuk secara te-rus-menerus melengkapi “koleksi” bendabenda kesukaan yang kemudian akan menjadi benda kebanggaan anak di antara lingkungan temannya. Lingkungan teman sebaya telah lebih kuat memberi pengaruh kepada mereka.

PERLU BIMBINGAN

Arus pengaruh teman sebaya tak bisa dibendung oleh orang tua. Atau, kalau orang tua tetap mau membendungnya, pengaruh itu tetap juga akan luber tak terkendali. Lebih baik orang tua turut menyusun jalan-jalan penyalurannya, agar bah pengaruh itu bisa lebih sehat alirannya. Orang tua wajib peduli dengan kesenangan anak-anak. Kalau perlu, orang tua bisa melakukan diskusi dengan anak-anak tentang mainan-mainan kesenangannya.

Gambar karya Fikri Fuadi Suryana (5 tahun), Perang Robot. Kecamuk perang antarmahluk ‘asing’ bagi orang tua, yang inspirasinya diambil dari film animasi manga Jepang


Membiarkan anak mengeksplorasi dunianya adalah tindakan bijaksana. Tetapi, bimbingan, arahan, dan penyaluran merupakan kunci pengaman yang bisa dibentuk oleh orang tua. Orang tua adalah pengawas, pemilah, dan sekaligus fasilitator bagi kebutuhan eksplorasi anak. Biarkanlah anak mengurusi dunianya. Orang tua tidak bijaksana bila turut campur menentukan isi dunia anak. Jadilah wasit yang bertanggung jawab, yang bisa memfasilitasi lalu lintas imajinasi anak. Bukankah ketika kita, para orang tua, masih dalam usia anak-anak, kita selalu diberi kebebasan bermain, dan lahan bermain kita tidak pernah dijajah orang tua kita.

3.      Pendekatan Sosiologi tentang Seni Rupa

P.J. Bouman (1954), dalam bukunya Sosiologi Pengertian dan Masalah, pada salah satu bagian bukunya menulis tentang sosiologi seni, di samping tentang sosiologi agama, sosiologi kebudayaan, dan sebagainya. Bouman menunjuk bahwa perhatian para sosiologist dalam membahas seni adalah mengenai: 1) sampai seberapa jauh ciptaan seniman menunjukkan pengaruh sosial, 2) gema sosial ciptaan seni, 3) kedudukan seniman dalam masyarakat, dan 4) bagaimana masyarakat menghargai, menyebarkan, atau menghimpun hasil-hasil seni.

Tampaknya, apa yang dikemukakan oleh Bouman tahun 50-an dengan apa yang dipaparkan oleh Jaques Lennhardt tahun 70-an, tidak terlalu jauh bergeser. Penelitian para sosiologist tentang seni, Lennhardt menyebutnya arus utama (main trends) penelitian sosiologi seni, berkisar tentang hasil karya seni yang diperlakukan sebagai jejak sosial yang akan membimbing para sosiolog dalam meneliti komponen lingkungan sosial para pekerja seni, dan kondisi sosial penciptaan seni (Lennhardt, 1978: 585 - 596)

Bouman menegaskan:

“Sosiologi kesenian dapat memberi gambaran tentang keadaan2 jang menjuburkan tumbuhnja beberapa pernjataan seni tertentu, tetapi tidak pernah dapat ‘menerangkan’ bagaimana terdjadinja bentuk2 seni.Ia harus membatasi diri pada penjelidikan kesenian sebagai eksponen kesatuan djiwa kelompok, dengan tiada berhak untuk ingin menembus sampai proses psychologis jang terdjadi pada setiap seniman (meskipun ia mewakili fikiran kelompok)”.

Diakui oleh Baouman bahwa tafsiran sosiologis untuk jenis-jenis seni modern, yang menggambarkan individualitas senimannya, sangat sulit dilakukan. Ia mengangkat pendapat W. Kloos yang menyataan bahwa kesenian modern itu merupakan “pernjataan yang paling individual dari perasaan-perasaan yang paling individual”. Tetapi, meskipun demikian, Bouman masih mengakui bahwa seniman tetap tidak bisa lepas dari pengaruh waktu dan lingkungannya.

Yang menarik dari pernyataan Bouman adalah tentang gambaran kesenian Asia, terutama berkaitan dengan gaya seni:

“Kalau dirumuskan setjara negatif, dapatlah dikatakan, bahwa stabilitet kesenian Asia berhubungan dengan ketenangan struktur2 agraris dalam daerah2 kebudajaan tempat kesenian itu berkembang. Djuga kesenian Tiongkok, Djepang dan India Depan mengenal masa gaja, tetapi djarang ahli sedjarah kesenian memperhatikan latar belakang sosial dari penentuan masa gaja ini”.

Secara sosiologis, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang santun, suka menghargai se-sama, mementingkan kebersamaan, erat ikatan batinnya dengan tradisi, dan sejumlah ciri sosiologis lainnya. Masyarakat Indonesia, pun sebagian telah menjadi masyarakat kota besar yang mulai memiliki ciri-ciri sosiologis masyarakat kota besar, bahkan untuk lingkungan tertentu telah menampakkan ciri masyarakat metropolis kotakota besar dunia. Radio, televisi, dan kini, nternet dan telefon seluler, telah mengubah sedikit demi sedikit pola kehidupan masyarakat tatap-muka menjadi msyarakat seluler, serba saluran elektronis.

Masyarakat yang kini disebut sebagai masyarakat tradisi, pada zamannya adalah kelompok masyarakat pekota. Tetapi karena perubahan zaman, terjadi pergeseran dalam penyebutan posisi mereka. Sebagaimana ketika masyarakat masa kini sadar bahwa teknologi adalah milik mereka, hasil capaian mereka dalam mengolah alam lingkungannya, hal itu menjadi hal yang sama pada kelompok masyarakat lainnya dalam kurun waktu yang berbeda. Tradisi tidaklah mengacu waktu melainkan menyangkut kondisi. Sebagaimana sebutan primitif yang selalu dihindari teoretisi seni Eropa untuk menyebut kondisi masyarakat mereka, kondisi itu bisa kita temukan pada masyarakat masa kini yang telah dianggap postmodern.

 

3.1 SADAR DUNIA ANAK-ANAK

Oleh Jajang Suryana

(Dimuat dalam Sinar Harapan, 12 Maret 2002)

Anak-anak masa lalu, adalah anak-anak yang sangat dekat dengan alam. Mereka bermain dengan alam. Mereka merespon alam. Mereka bagian dari alam.

Anak-anak masa kini, tetap bagian dari alam, merespon alam, dan bermain dengan alam. Tetapi, banyak orang tua yang boleh jadi merasa, alam yang diakrabi oleh anak-anak masa kini adalah alam yang sempit cakupannya. Bahkan, banyak perangkat alam yang justru dianggap tidak alamiah. Artinya, perangkat yang disukai sebagai alat bermain oleh anakanak masa kini adalah perangkat alam milik lingkungan orang lain, milik bangsa lain, milik budaya bangsa lain.

Ada yang berkilah, lingkungan tidak lagi memberi keamanan kepada anak-anak dalam meng-akrabinya. Memang, dulu, selokan di pinggir rumah masih berair jernih dan dipenuhi ikan-ikan kecil yang lucu-lucu. Kini, jenis ikan kecil tersebut, boleh jadi, telah men-jadi hewan langka. Kini, sungai di pinggiran desa tidak bisa dipakai mandi atau bermain air berlama-lama. Semua orang takut terkena gatal sisa buangan sampah rumah tangga, apalagi buangan bekal pabrik. Begitu pun, ketika musim mewuluku tanah sawah tiba, anak-anak tidak bisa secara bebas ikut serta bermain lumpur di sawah. Bermain lumpur pada masa kini dianggap sangat tidak sehat. Keceriaan anak-anak telah berganti rupa karena lingkungan alam telah habis dijadikan lingkungan baru yang tidak ramah kepada anak-anak. Saat bulan purnama tidak pernah memberi pengaruh apa pun kepada anak-anak masa kini. Masa panen (tanaman maupun ikan) telah jauh dari lingkungan anak-anak modern.

 

DUNIA ROBOT

Anak masa kini telah belajar dari lingkungan yang sebetulnya milik masyarakat lain. Dunia robot, dunia masyarakat industri dan teknologi tinggi, telah “akrab” menjadi teman bermain anak-anak Indonesia masa kini. Dari mulai anak-anak kota besar yang telah lebih dahulu kenal dengan pesawat teve berantena parabola dan aneka komik ekspor, yang kini berlanjut kenal dengan mesin komputer serta program internet, hingga anak-anak kampung di sisi gunung yang secara nasib ketiban pulung keluarganya menjadi OKB karena pengaruh situasi reformasi, telah begitu dekat juga dengan robot. Ya, meskipun hanya kenal robot maya, robot animasi, robot gambar, mereka begitu nikmat “memilikinya”.

Memang ada sejumlah komik bu-atan masyarakat seniman komik Indonesia, sebagai bahan perbandingan, seperti komik cerita tradisi Ramayana, Sangkuriang, dan Mundinglaya, atau komik yang terkait dengan cerita masa kini seperti Saras, yang masih bisa laku terjual di pasaran tetapi oplah penjualannya kalah jauh oleh komik impor. Pokemon dan Digimon, yang kerap menjadi bahan obrolan anak-anak sekolah dasar, ternyata, lebih banyak hasil pengaruh merebaknya penggunaan play station, juga produk Jepang. Compact disk (CD), bentuknya bisa VCD maupun CD-Games khusus komputer, telah menjadi barang murah. Bahkan, munculnya warung-warung penyewaan perangkat play station (hardware maupun software), telah menyuburkan hidupnya budaya cerita dan mainan masyarakat mancanegara seperti Jepang.

 

KARTUN

Film kartun atau anime yang beredar di sekitar masyarakat penonton teve Indonesia, kini, lebih banyak produk Jepang. Bisa kita saksikan, ternyata, tidak semua film kartun ditujukan untuk konsumsi anak-anak. Terbukti, banyak film kartun Jepang yang tema ceritanya tentang percintaan remaja, bahkan tentang ulah para orang tua. Jelaslah, orang tua mana pun tidak akan setuju kalau jenis film kartun seperti itu ditonton oleh anakanaknya yang di bawah usia dua belas tahunan. Kecuali orang tua yang memiliki sikap masa bodoh, atau menghalalkan tontonan dewasa untuk anak-anaknya.

Kartun, film maupun komik, bisa dipastikan disukai oleh anak-anak maupun orang dewasa. Bukti tersebut telah dimanfaatkan oleh para penggubah kartun dan produser film kartun. Mereka memproduksi film-film kartun yang ditujukan kepada penikmat dewasa. Tetapi, kita, msaya-rakat Indonesia, sudah kepalang percaya bahwa film kartun adalah untuk konsumsi anak-anak. Kondisi pandangan ini kemudian melahirkan sikap-sikap orang tua yang kurang hati-hati dalam menyaring film kartun yang cocok ditonton oleh anak-anaknya.

Tampaknya, kita sudah mulai banyak kehilangan milik kita sendiri. Kita lebih percaya diri jika kita memanfaatkan produk bangsa lain, termasuk sarana menanamkan nilai kepada anak-anak. Sarana bermain bagi anak-anak kita, yang bersifat bacaan, tontonan, dengaran, maupun pakaian, hampir semua adalah produk luar. Sejak lama Made in China menjadi trade mark aneka jenis mainan yang masuk ke Indonesia. Sekadar mainan sederhana dari bahan plastik bekas sekalipun. Rakyat China sangat kreatif. Entah dengan tuntutan dan cara apa pemerintah mereka bisa menggugah individu-individunya untuk berkarya dan berkarya. Dulu, pernah ada sejumlah jenis mainan buatan masyarakat Indonesia yang diekspor ke negara-negara tetangga.

Pemerintah masih mengganggap bidang seni rupa hanya sebagai bidang kegiatan pengisi waktu luang yang nilai ilmiahnya sangat jauh bila dibandingkan dengan sains. Begitu pun hasil devisa yang didapat dari penjualan benda-benda seni rupa, masih ditafsir sebagai hasil pengembangan bidang pariwisata. Artinya, devisa negara dari penjualan barang seni rupa secara bengis diaku sebagai devisa dari bidang pariwisata. Mendiamkan potensi kreatif anak-anak kita, membatasinya dengan makanan kreativitas bangsa lain, sungguh perbuatan yang tak bijak.

 

4.      Pendekatan Psikologi tentang Seni Rupa

Pendekatan psikologi terhadap seni lebih cenderung berupa kajian estetis yang dikaitkan dengan perilaku dan pengalaman manusia dalam pengolahan, penikmatan, ataupun pe- ngaruh seni. Para ahli psikologi mengenal dua bentuk pendekatan psikologis: Pendekatan Gestaltism (The Psychology of Vision, Psikologi Cerapan) dan pendekatan Psikologi Analitik. Dalam buku ini lebih khusus akan dibahas dibahas pendekatan yang kedua, pendekatan psikologi analitik dari Carl Gustav Jung.

Seni modern merupakan gambaran pikir masyarakat industri yang sekular (lihat juga bahasan tentang Desain Sesudah Modernisme, kutipan dari bagian laporan skripsi Meiyani Hertanto). Di dalamnya terdapat pemisahan fenomena estetik, otonom, dan terpisah dari pranata sosial dan masyarakat umum. Karena memisahkan diri dari masyarakat umum, seni modern sering dianggap tidak akrab dengan masyarakat.

 Kaum modernis berpandangan bahwa kegiatan seni adalah upaya yang terus menerus menegakkan kualitas estetis. Paham modernis ini melahirkan nilai dan norma yang menjadi acu-an: nilai kebaruan, bersifat material, dan terindera. Nilai keaslian melahirkan individualitas (menurut mereka) sekaligus universalitas. Kedua nilai tersebut menuntut tingkat kreativitas yang tinggi kepada para senimannya.Untuk menemukan sesuatu yang baru dan asli, seniman melakukan pencarian yang terusmenerus. Kebebasan pencarian merupakan sesuatu yang sangat diagungkan. Salah satu akibat buruknya, seperti telah disebutkan di muka, seniman menjadi terasing atau mengasingkan diri dari masyarakat banyak.

Dalam perkembangannya, seni modern mengenal berbagai isme, mazhab, atau aliran (tentang hal ini akan dibahas tersendiri). Sejalan dengan prinsip “terus-berubah” milik dunia industri dan sifat ilmu pengetahuan, dalam seni modern selalu terjadi perubahan aliran. Setiap aliran baru merupakan penolakan terhadap aliran sebelumnya. Sebagai contoh, lahirnya impressionisme sebagai hasil reaksi terhadap kebiasaan melukis di dalam studio yang biasa dilakukan oleh para pelukis penganut aliran realis (lihat Myers, 1961: 387 - 408). Pergantian pengaruh aliran dalam seni modern merupakan hal yang sangat biasa. Gambaran gerak yang tanpa henti, gambaran sifat manusia modern, tampak jelas di sana. Tetapi, dalam perubahan tersebut, seperti disebutkan oleh Gustav Jung, terjadi pergantian pengaruh dua sifat utama manusia yang terus berulang: ekstravet (extravert) dan introvet (introvert) (Fodham, 1988).

Sikap ekstravert, menurut Jung, ditandai dengan libido yang mengalir ke luar; berminat kepada kejadian-kejadian, orang dan benda; juga memiliki hubungan serta ketergantungan terhadap hal tersebut. Orang ekstravert mengadakan hubungan dengan dunia luar melalui intelek, perasaan, penginderaan, atau intuisinya. Mereka mudah terikat oleh fakta; tidak dapat melihat sesuatu di luar fakta; menyukai logika dan keteraturan; lebih tertarik kepada dunia luar; dan tidak menyukai kesendirian. Sebaliknya, sikap introvert ditandai dengan libido yang mengalir ke dalam; terpusat pada faktor-faktor subjektif; menarik diri; dan dikuasai kebutuhan dalam. Orang introvet tidak berminat pada fakta,melainkan pada ide (gagasan).

Konsep sikap yang dirumuskan oleh Jung, pada dasarnya terdiri atas tiga pokok bahasan. Pertama, konsep arketif (archetype), yaitu konsep keseduniaan (universality) manusia dalam peng-alaman nyata dan imajinasi. Jung mendefinisikan istilah arketif ini sebagai gambaran ruhanian dari dorongan-dorongan naluri jasmaniah. Kedua, konsep ego dan self. Ego menggambarkan sesuatu yang utama, yang bertalian dengan identitias, batas dan kemampuan perorangan. Sedangkan self bertanggung jawab terhadapa pengalaman simbol-simbol keutamaan, perasaan, dan kesadaran. Ketiga, konsep individuation, yaitu kemampuan memadukan sejumlah aspek proses kesadaran, ketidaksadaran, dan hayalan yang membimbing seseorang kepada kesadaran di luar ego (kesadaran transendental) bukan hanya sekadar pengalaman keunikan individualnya saja.

Merujuk ciri-ciri tipe psikologis yang dikemukakan oleh Jung, bertalian dengan pelaku seni modern, secara garis besar terdiri atas empat kelompok seperti berikut.

Realisme, Naturalisme, dan Impressionisme

Kelompok seniman yang menganut tiga aliran seni ini mengutamakan unsur pikir dalam kegiat-annya. Tampilan kelompok ini menunjukkan sikap peniruan terhadap dunia-luar alam. Tampil-an utama karya yang dilatari ketiga aliran ini adalah sesuatu yang nyata. Kenyataan inilah yang menuntut unsur pikir karena peniruan bentuk real, natural, maupun impression adalah peniruan terhadap bentuk-bentuk yang ada di alam. Walaupun kemudian ada penambahan tertentu, ikatan bentuk-bentuk yang nyata sebagai unsur utama dalam model atau objek benda yang ditiru tetap ketat. Sesuatu yang nyata tampak jelas dalam bentuk-luar objek.

Superrealisme dan Futurisme

Peranan sensasi sangat kuat dalam konsep kegiatan kelompok ini. Mereka menunjukkan perhatian terhadap nilai-nilai spiritual dalam memanggapi dunia-luar alam. Dunia-luar, bagi ke-lompok ini, masih menjadi perhatian yang utama. Mereka menggunakan sensasi bentuk nyata dengan menambahkan unsur-unsur tampilan yang luar biasa, berlebihan, bahkan menampakkan kondisi yang ada di luar dunia nyata.

Fauvisme dan Expressionisme

Peranan sesnsasi sangat kuat dalam konsep kegiatan kelompok ini. Karya mereka menampilkan kerinduan terhadap sensasi rasa perseorangan senimannya. Senimanseniman ini mengutamakan subjektivitas dirinya dalam mengolah karya.

Cubisme, Constructivisme, dan Functionalisme

Bagi kelompok ini, intuisi menjadi titik pusat konsep berpikir mereka. Mereka menunjukkan keasyikan dengan bentuk-bentuk mujarad (abstrak) Kelompok pertama memiliki latar sikap objektif senimannya. Bentuk-bentuk alam menjadi dasar tiruan: fotografis maupun impressionistis. Keberadaan objek mengontrol kegiatan jasmani. Seluruh perhatian seniman ditujukan hanya untuk meneliti kepastian objek. Faktor bawah sadar dan kejiwaan seniman mungkin bisa tersalurkan melalui pengaturan komposisi dan warna.

Para seniman relalis dan naturalis lebih menampilkan sikap ekstravet, karena mereka mengutamakan peniruan dunia-luar alam.Agak berbeda dengan kaum impressionis, meskipun mereka tetap mengacu bentuk objek, objek tidak selalu sesuatu yang tampak sebagai bentuk dalam kenyataan. Sikap objektif mereka dibarengi sikap subjektif dalam menangkap objek untuk digambarkan kembali. Hal tersebut menunjukkan gambarandalam dari kenyataan luar.

Kelompok kedua mengagungkan imajinasi. Imajinasi yang menguasai perasaan seniman ke-lompok ini bisa imajinasi figuratif maupun nonfiguaratif. Seniman kelaompok ini, yang memiliki sifat ekstrovet, harus bersetuju dengan kenyataan dalam memanipulasi materi untuk memenuhi tuntutan imajinasinya. Mereka menyalurkan ciri pribadinya ke dalam objek, sehingga objek yang ditampilkan bisa mewakili dirinya. Tetapi yang memiliki sifat introvet, mereka le-bih mementingkan otomatisasi perasaan yang dikuasai alam bawah sadarnya.

Kelompok ketiga dilatari sikap objektif dan subjektif. Sensasi yang memotori sikap mereka, pada kelompok yang ekstravet, sangat dibatasi keadaan objek. Tetapi, seperti ditemukan oleh Jung, reaksi terhadap objekbukan pada kenyataannya, bukan pula pada tampilan dangkal, melainkan pada nilai sensasinya. Kualitas rasional dan spiritual di kesampingkan. Objek sebagai hasil pengalaman penginderaan, ditampilkan dengan titik berat pada derajat sensasi. Kelomok yang bersikap introvet lelbih dikenal dengan sebutan tipe haptic. Tipe ini, tentu saja, lebih banyak merupakan sifat bawaan.

Kelompok keempat menempatkan intuisi sebaai penggerak utama sikap berpikir mereka. Ke-lompok ini bisa dikatakan cenderung menampilkan sikap introver, intuisi seniman tidak langsung berhubugnan dengan bentuk eksternal, di luar ekspresi. Ada kelompok yang bisa disebut sebagai kelompok dengan sikap ekstravet. Hal tersebut tampak pada jenis tampilan karya arsitektur fungsional dan dalam sejumlah seni industri.

Penggolongan yang dilakukan Jung, pada kenyataannya, tidak bisa dikatakan sebagai sesuatu yang eksak. Read (1958) menyebutnya hanya sebagai model hipotesis. Seni dan kepribadian merupakan sesuatu yang meredeka, tetapi bisa disebutkan bahwa keduanya memiliki bentuk hubungan yang akan tampak dalam cara berekspresi senimannya. Seberapa tinggi tingkat keter-hubungannya, bagi setiap orang, bagi setiap bangsa, bisa dipastikan terdapat sejumlah perbedaan.

 

5.      DESAIN SESUDAH MODERNISME

Oleh Meiyani Hertanto, S.Sn.

(Bagian kecil dari laporan skripsi Desain Sesudah Modernisme di FSRD ITB)

Pada dasarnya, tidak ada kesepakatan yang ketat tentang kapan tepatnya awal pemunculan Modernisme atau Erakan Modern ini. Para kritikus lazim menunjuk masa Revolusi Industri di Eropa pada pertengahan abad 18 hingga 19 sebagai pemicu awal terjadinya perubahan-perubahan mendasar dalam pola kehidupan dan tatanan masyarakat Barat, baik di bidang ekonomi, politik, sosial maupun budaya. Pada masa ini dasar kehidupan manusia modern mulai dibentuk, baik melalui struktur sasyarakatnya maupun struktur industrinya.

Secara garis besar, Kenneth Frampton (1980), menggolongkan berbagai transformasi ini ke dalam 3 kategori, yaitu transformasi budaya (1750 - 1900), tranformasi wilayah (urban development, 1800 - 1909), dan transformasi bidang teknik (structure engineering, 1775 - 1939). Faktor-faktor tersebut yang melatarbelakangi munculnya Modernisme, khususnya dalam bidang arsitektur sebagai induk cabang seni dan desain pada masa itu. Di dalam konteks perubahan ini pula pengertian “desain” dalam artian modern, yaitu kegiatan desain yang terpisah dari kegiatan produksinya dan desain sebagai bagian dari nilai komersial suatu produk, mulai terbentuk.

Pemunculan Art Nouveau sebenarnya sangat dipengaruhi oleh aliran Art & Craft Movement yang telah berkembang di Inggris pada pertengahan abad 19, dengan tokohnya John Ruskin dan William Morris. Secara umum, kedua aliran ini sering diartikan sebagai reaksi ideologis para perancang terhadap gelombang industrialisasi dan mekanisasi, yang dianggap telah menurunkan mutu desain dan kebanggaan kaum perajin terhadap barangbarang yang diproduksi secara massal.

Secara teori dan dari sudut pandang etis politis, Art Nouveau dapat dikatakan bertujuan menyatukan seni dan teknologi dalamkehidupan sodial sehari-hari. Namun secara praktis dan dari sudut pandang budaya, aliran ini sering dianggap sebagai ‘reaksi panik’ kaum borjuis terhadap dampak industrialisasi yang semakin dominan, yaitu dengan terbentuknya selera pasaran karena melimpahnya barang-barang yang dulunya hanya bisa dikonsumsi oleh orang-orang kaya.

Art Nouveau segera berkembang pesat di seluruh Eropa dan pengaruhnya juga ke Amerika Serikat. Beberapa tokohnya misalnya adalah Hector Guimard di Perancis, Victor Horta dan Henry van de Velde di Belgia, kelompok Vienna Secession di Austria, dan dalam bentuk radikal oleh arsitek ‘eksentrik’ Antonio Gaudi di Spanyol. Di Amerika Serikat pengaruh Art Nouveau terutama tampak pada kerajinan gelas dan metal dari Studio Tiffany.

Memasuki dekade awal abad 20, lengkung-lengkung Art Nouveau yang telah merambah ke hampir segala jenis produkdesain dan arsitektur seakan-akan mengalami kejenuhan dan me-munculkan semacam ‘reaksi balik’. Di kalangan arsitek dan pendesain terdapat kesamaan kecenderungan untuk meninggalkan konsep lama’menempelkan’ seni pada permukaan benda-benda, karena hal itu dipandang tidak lagi sesuai dengan tuntutan jaman. Era industri dan mekanisasi yang tak terbendung lagi telah memaksa kaum perancang untuk mengubah cara pandangnya terhadap fenomena mesin serta produkproduk yang dihasilkan, bukan dengan mengelabuinya dengan ornamentasi, melainkan dengan menciptakan perpaduan yang rasional antara konsep seni dan industri, antara aspek estetika dan teknik.

Merunut faktor-faktor penyebab munculnya prinsip desain modernisme sebenarnya sangatlah kompleks, seperti halnya dengan menentukan kapan awal pemunculannya. Secara garis besar beberapa faktor pendukung bisa disebutkan berikut ini: Pertama, industrialisasi bersamaan dengan berkembangnya kapitalisme telah mendorong lahirnya ‘kelas menengah’ baru yang cukup makmur. Kebutuhan dan kemampuan dalam pemilikan barang-barang menjadi semakin luas ke berbagai lapisan masyarakat. Dengan alasan untuk memenuhi tuntutan ‘demokratisasi’ ini maka diperlukan desain-desain yang sederhana dan terstandarisasi sehingga bisa diproduksi secara massal dengan harga yang terjangkau, serta tidak mewakili selera kelas tertentu (impersonal).

Kedua, kemajuan teknologi telah memunculkan sejumlah fungsi baru dalam kebutuhan hidup masyarakat modern, sedang fungsi-fungsi lama mengalami transformasi. Tipe-tipe bangunan yang sebelumnya tidak dikembangkan seperti pabrik, gedung perkantoran dan pertokoan, rumah sakit, sekolah dan hotel besar merupakan tantangan baru dalam bidang arsitektur. Sedang revolusi gaya hidup yang ditandai dengan berperannya rumah-rumah ‘sub-urban’, rumah tanpa pembantu, penggunaan peralatan listrik seperti radio, televisi, alat pembersih debu, lemari es, dan sebagainya, telah menimbulkan problem-problem baru dalam perancangan dan penataannya.

Ketiga, ditemukannya metode pengolahan dan teknik penggunaan bahan-bhan mterial baru. Dengan menggunakan material baja, beton bertulang dan kaca lebar, desain arsitektur dimungkinkan untuk mengeksploitasi bentuk-bentuk baru yang tadinya tidak dikenal, seperti bangun-an berkantilever atau gedung-gedung pencakar langit dengan kerangka baja dan selaput dinding kaca (curtain wall). Desain industri juga makin berkembang melalui sejumlah eksperimentasi dan eksplorasi bahan, seperti berbagai jenis plastik, serat gelas (fibre glass), logam ringan se-jenis aluminium atau campuran (alloy), baja tak berkarat (stainless steel), pelengkungan kayu lapis (laminated bentwood) dan sebagainya.

Dari faktor-faktor di atas, dapat terlihat bahwa perkembangan moderninsme sangat erat berkaitan dengan kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi modern, sehingga sebenarnya tidaklah mengherankan ketika sikap rasional-teknis yang merupakan ciri khas ilmu pengetahuan dan teknologi, juga banyak diserap dan kemudian tercerminkan dalam pendekatan dan hasil desain modernisme.

 

Pokok-pokok Gagasan dalam Modernisme

Pokok gagasan Modernisme lazim disebut juga ‘rasionalisme’, dan dalam penerapannya dapat dijabarkan lagi dalam beberapa ‘turunan’nya. Berikut ini, untuk lebih memudahkan dalam memahami Modernisme, akan diuraikan beberapa pokok gagasan yang dianut di dalamnya.

A.    Fungsionalisme

Salah satu aspek rasional desain adalah apabila ia mampu memenuhi sasaran praktisnya, yaitu fungsional. Meskipun nilai fungsi selalu melekat dalam konsep desain dari sejak awal, namun dalam pendekatan Modernisme, aspek ini menjadi gagasan yang diutamakan. Selain fungsi menjadi faktor determinan yang menentukan bentuk, fungsi sebuah desain atau elemen desain juga secara jujur direfleksikan bahkan diekspresikan oleh bentuk tanpa ditutup-tutupi atau dibuat-buat. Fungsionalisme dengan demikian dinilai sebagai pemenuhan kualitas sebuah desain. Selebih dari itu, akan dinilai sebagai ‘pemborosan’ pada hal-hal yang tidak fungsional.

 

Bentuk furniture yang dipengaruhi aliran tertentu, yang mengutamakan tafsir ulang terhadap bentuk-bentukfurniture yang ada pada masa sebelumnya dengan nafas baru.

Ada beberapa analogi pembenaran dalam penerapan paham fungsionalisme ini. Pertama adalah analogi ‘biologis’,yaitu para perancang mendasari pengamatannya pada alam dan bentuk-bentuk mahluk hidup. Mereka mengamati bahwa suatu organ mempunyai bentuk tertentu, bahkan berevolusi menuju suatu bentuk tertentu karena tuntutan fungsinya. Analogi ini berkembang dalam pendekatan desain yang ‘organis’, yaitu bahwa bentuk luar suatu benda atau bangunan ditentukan oleh tuntutan fungsi dan struktur di dalamnya. Analogi yang lain adalah analogi ‘mekanis’. Dalam analogi ini, pengamatan para perancang didasarkan pada bentuk-bentuk hasil kemajuan teknik seperti kapal, pesawat terbang, bendungan atau jembatan. Bentuk-bentuk ini dikagumi karena ‘form fitting’, mempunyai bentuk yang apa adanya, tidak berlebihan serta efisien, ‘pas’ sesuai dengan fungsinya. Dari sini muncullah paham baru tentang nilai keindahan suatu desain.

B.       Estetika Mesin

Modernisme muncul dalam semangat industri dan mekanisasi. Mesin menjadi kunci utama. Kekaguman terhadap mesin sebagai fenomena perubahan peradaban manusia masa itu, menjadikan mesin sebagai sumber inspirasi dan panutan dalam berbagai gerakan/aliran seni dan desain yang muncul secara menjamur pada dua dekade awal abad 20.

Estetika mesin merupakan hasil penggabungan antara konsep seni dengan industri, yaitu kaidah-kaidah yang muncul dalam tuntutan rasionalitas industri. Nilai estetikanya mengacu baik pada bentuk mesin itu sendiri yang lugas, fungsional, tanpa ornamen atau dekorasi; sifat dan cara kerja mesin yang rasional dan efisien; serta pada benda-benda yang dihasilkan oleh sistem kerja mesin, yaitu sederhan, presisi dan terstandarisasi. Maka bentuk-bentuk desain yang dihasilkan adalah bentuk yang sederhana (simple), bersih (clean), dan jelas (clear).

C.     Kebenaran dan Kejujuran

Kemunculan Modernisme sering diasumsikan merupakan akibat logis yang tak terhindarkan dari proses mesin. Salah satu konsekuensi cara berpikir rasional yang merupakan dasar pendekatan desain Modernisma adalah kebenaran dan kejujuran. Maka kaum Modernis juga menganut pandangan bahwa rancangan yang baik adalah yang mempu menampilkan nilai-nilai kebenaran (truth) serta kejujuran (honesty) baik terhadap fungsi, material, maupun struktur/konstruksi. Hal ini sejalan dengan metode kerja ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam ilmu pengetahuan, kebenaran dan proses dinilai melalui ‘keabsahan’ atau validitasnya yang mampu dibuktikan secara nyata/empiris.

D.    Gaya Universal

Gelombang kebaruan pada pergantian abad yang dibawa oleh penemuan mesin, seolaholah menuntut suatu kebaruan gaya atau corak desain yang sama sekali baru dan tidak mengacu pada gaya-gaya yang sudah ada sebelumnya. Pemunculan Modernisme, yang didasarkan pda pendekatan-pendekatan yang rasional, fungsional dan terukur, serta di dalamnya terkandung nilai-nilai kebenaran dan kejujuran, dianggap memenuhi pencarian gaya yang sesuai dan mampu mewakili semangat jaman modern ini (Zeitgeist = spirit of the age). Karenanya, dengan dasar asumsi bahwa semua kebutuhan manusia bisa dirasionalisasikan, desain modern harus mampu merupakan jawaban paling benar bagi semua persoalan desain yang muncul di semua tempat yang berlaku untuk semua orang di segala waktu (universal).

Hal ini terlihat dari berbagai eksperimen desain yang dilakukan par tokoh Modernisme dalam mencari bentuk desain baku (type-form), yang didasarkan pada pandangan bahwa desain yang baik adalah desain yang dengan tegas mampu memenuhi satu fungsi utama saja, sehingga dengan demikian desain tersebut seakan-akan sudah tidak dapat atau tidak perlu dikembangkan lagi, karena yang selebih dari itu akan dianggap sebagai tidak esensial atau tidak efisien.

Pandangan universalis ini tampaknya juga erat kaitannya dengan tumbuhnya semacam keyakinan bahwa pola-pola pembangunan yang telah dilakukan di Barat dapat (bahkan ‘harus) diterapkan di belahan dunia manapun yangingin mencapai kemajuan atau kemodernan. Setidak-tidaknya, kemudian tersebuar luas semacam andangan ‘developmentalism’ di banyak negara Dunia Ketiga (termasuk Indonesia yang memberi porsi besar dalam perhatian terhadap konsep ‘pembangunan’ serta ‘tinggal landas’). Dalam usaha penyebaran Modernisme sebagai suatu ‘totalitas’ gaya yang universal inilah, para pendukungnya mereas perlu untuk menggunakan konsepsi-konsepsi moralistik seperti kebenaran dan kejujuran sebagai justifikasi ideaologisnya.

Dinamika Perkembangan Modernisme

Memahami Modernisme memang bukan merupakan hal yang mudah, terlebih jika berasumsi bahwa Modernisme merupakan sebuah garya atau aliran yang tunggal, dan bisa dengan sederhana dan tegas ditunjukkan definisi serta batasan-batasannya. Dalam perkembangan sejarahnya ternyata Modernisme tidak selalu berjalan dalam garis sejarah yang lurus atau dengan pemahaman yang selalu seragam. Sejarawan arsitektur C. Norberg Shulz, dalam bukunya Meaning in Western Architecture, bahkan tidak menggunakan istilah “modern” dalam pembabakannya, melainkan menganggap bahwa paham yang dominan pada paruh pertama abad ini adalah “Fungsionalisme”.

Dari situ dapat dipahami bahwa yang bernaung di bawah istilah Modernisme sebenarnya ada beragam aliran yang masing-masing memiliki penekanan khusus pada aspek gagasan tertentu, namun dengan tetap berpegang pada paradigma fungsi sebagai faktor determinan, serta fenome-na mesin sebagai sumber acuan. Perbedaan aliran-aliran itu terutama ditentukan oleh konteks sosio-historis masyarakat dan negara tempat aliran itu berkembang, serta pengaruh dari tokoh-tokohnya.

Salah satu tonggak perkembangan Modernismeadalah berdirinya sekolah desain Bauhaus yang dipimpin oleh Walter Gropius, di Weimar (1919), dan kemudian pindah ke Dessau (1925), Jerman. Prinsip dasar pendidikan Bauhaus adalah mengintegrasikan semua cabang ilmu pendukung desain --seni kriya dan teknik-- dengan tujuan menghasilkan desain-desain yang mampu menjawab realitas sosial dalam tantangan budaya industri modern. Dengan sejumlah tenaga pengajar adalah tokoh-tokoh seniman pembaharu aliran Kubisme Abstrak dan Konstruktivisme, seperti Paul Klee, Kandinsky, The van Doesburg, dan Josep Albers, Bauhaus menerpakan metode belajar yang memebelot dari konsep Romantisme dan Historisisme karya-karya klasik. Hasilnya adalah keberanian eksperimentasi individual dalam metode pangolahan bahan, serta ‘cara baru’ dalam memandang bentuk yaitu dengan mereduksinya ke elemen-elemen dasar bentuk geometris, dan kemudian memanipualsikannya kembali dalam olahan dengan yang sederhana, ‘jujur’ dan rasional.

Sangat banyak teori desain yang disumbangkan Bauhaus pada perkembangan desain dan arsitektur modern secara keseluruhan, mulai dari simbolisme estetika abad modern me-lalui bentuk-bentuk geometris hingga pendekatan fungsionalisme murni yang ‘tanpa gaya’. Melalui Bauhaus pula sepat timbul dua cabang aliran dalam arsitektur Modernisme, yaitu ekspresionisme dan rasionalisme. Dalam perkembangan selanjutnya, rasionalisme yang menekankan garis-garis tegas dan geometris lebih banyak dikenal sebagai ciri Modernisme daripada ekspresionisme yang banyak bentuk-bentuk lengkung atau bulat/lingkaran sebagai ekspresi massa yang masif.

Gagasan Modernisme yang secara nyata berusaha dikaitkan dengan wujud idealisme sosial, yaitu penyediaan kebutuhan akan rumah tinggal dalam jumlah banyak dan cepat namun dengan harga yang minimum, tampak dalam sejumlah karya dan ungkapan tokoh arsitek yang tergabung dalam CIAM (Congres Internationaux d’Architectur Moderne), dan terangkum dalam manifesto-manifesto kongresnya yang berlangsung sepuluh kali dari tahun 1929 hingga 1956.Untuk itu mereka sangat mendukung prinsip kejujuran bahan dan konstruksi, kesederhanaan dan standarisasi produksi untuk efisiensi, di samping studi-studi ergonomi dan antropometri guna mengukur standar ukuran serta kebutuhan manusia secara umum atau rta-rata. Dan karena berusaha membangun bangunan-bangunan yang bersifat komunal ini, beberapa tokoh arsitektur modern sering dituduh berpaham sosialis. Bangunan perumahan atau apartemen berbiaya rendah menjadi sentral garapan para arsitel CIAM dalam komitmennya menjawab tantangan sosial yaitu kebutuhan akan perumahan dengan meledaknya jumlah kaum buruh industri maupun kebutuhan yang timbul akibat perang. Akibatnya ciri-ciri fisik prinsip desain modern seper-ti bidang-bidang polos (biasanya putih karena melambangkan kebersihan), atap datar dan jalur jendela memanjang (ribbon windows), sering dianggap sebagai simbol konvensional dari ‘arsitektur sosialis’.

CIAMX kemudian dikenal sebagai aliran Brutalisme yang berkembang di Inggris sesudah Perang Dunia II. Brutalisme sendiri berasal dari kata ‘beton brut’, yang memiliki pengertian meng-expose permukaan beton secara ‘telanjang’ (tanpa ditutup dengan finishing lebih lanjut) pada tampak bangunan. Gaya ini lahir dengan alasan sekonomis serta ‘moralistik’ yaitu untuk dapat membangun secara ‘baik dan benar’ di tengah keterbatasan biaya dan material, dalam mas sulit sesudah perang.

Usaha menjadikan Modernisme sebagai satu-satunya gaya ‘paling benar’ mewakili semangat jaman dan berlaku secara internasional dilakukan oleh Museum of Modern Art (MOMA) di New York yang dimotori oleh H.R. Hitchock dan Philip Johnson, dengan mengadakan pame-ran “The International Style” pada tahun 1932. Gagasan inilah yang kemudian mengakibatkan timbulnya sejumlah kegagalan, penolakan, dan perdebatan prokontra yang berkepanjangan.

Menurut Jencks, gagasan-gagasan yang muncul dalam arsitektur modern berkembang secara evolusioner dalam 6 tradisi politik, tanpa pernah benar-benar mengalami kepunahan namun sekadar mengalmi ‘pasang surut’ dan perubahan bentuk (transformasi), atau merupakan overlapping dari satu tradisi dengan tradisi lainnya. Secara ringkas keenam tradisi tersebuat adalah sebagai berikut:

a.       Tradisi Idealis

Merupakan sentral dari apa yang lazim kita kenal sebagai Modernisme. Gagasan-gagasan dalam tradisi ini sangat didasari oleh idealisme-idealisme, baik idealisme sosial maupun idealisme dalam mencapai kesempurnaan bentuk.

b.      Tradisi Kesadaran (Self Conscious)

 Tradisi ini mengutamakan idealisme seperti tradisi pertama, tapi dengan kesadaran yang sa-ngat berlebih-lebihan (hyperconscious), misalnya ada usaha untuk mencapai nilai keabadian melalui monumentalitas, atau penonjolan inovasi-inovasi teknologi.

c.       Tradisi Intuitif

Penekanan gagasan dalam tradisi ini adalah pada kebebasan ekspresi, imajinasi, dan kreativitas individual.

d.      Tradisi Logis

Ciri tradisi ini adalah dengan sistematika dan perhitungan yang sempurna berusaha mewujudkan utopi-utopi teknologis secara sangat rasional.

e.       Tradisi Ketaksadaran (Unself Conscious)

Dinamakan demikian karena sikap dalam tradisi ini didasarkan pada sistem produksi massa atau pre-fabrikasi yang bukan lagi dikuasai manusia secara individu/personal. 

f.        Tradisi Aktivis

Gagasan-gagasan dalam tradisi ini sangat menekankan pada tujuan-tujuan sosial atau sebagai agen perubahan sosial.

Jencks mengakui bahwa pengelompokan politik ke dalam 6 tradisi ini merupakan penyederhanaan dari kenyataan sesungguhnya yang lebih rumit. Dari keenam tradisi ini kemudian dapat ditarik kesamaan-kesamaan asumsi sehingga secara ringkas seluruh gagasan tersebut dapat dibedakan ke dalam 2 kutub yang berlawanan namun saling melengkapi, yaitu gagasan tentang kesamaan dan keadilan sosial lebih dianut dalam Tradisi Aktivis, Unself Conscious, Logis, dan Idealis; sedangkan tradisi Self Conscious, Idealis dan Intuitif, lebih mengacu pada kebebasan otonomi dan ekspresi estetik.

Dualisme antara kebebasan dan keadilan merupakan dua kutub yang tak mudah terdamaikan dalam praktik, namun kualitas komplementer keduanya secara dialektis selalu mewarnai perdebatan dan pencarian alternatif bagi persoalan desain modern maupun persoalan sosial secara umum.

 

PUSTAKA RUJUKAN

Benthall, Jonathan. 1972. Science and Technology in Art Today. London: Themes and

 Hudson

Bouman, P.J. 1954. Sosiologi Pengertian dan Masalah. Djakarta: Jajasan Pendidikan

 Masjarakat

Bunt, Cyril G.E. 1946. Russian Art. London: The Studio

Clipton, James A. (Ed.). 1968. Introduction to Cultural Anthropology.

Ecols, John M. & Hassan Shadily. 1990. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia

F. Bruckmann K.G. 1972. World Cultures and Modern Art. Munich: Bruckmann

 Publisher

Faulkner, Ray & Edwin Ziegfeld. 1963. Art Today. New York: Holt, Rinehart and

 Winston, Inc.

Field, Dick and John Newick (Ed.). 1973. The Study of Education and Art. London:

 Routledge & Kegan Paul

Firth, Raymond William. 1979. Art and Life in New Guinea. New Yotk: AMS Press

Fodham, Fried. 1988. Pengantar Psikologi C.G. Jung. Jakarta: Bhratara Karya Aksara

Hauser, Arnold. 1962. The Social History of Art. (4 jilid). London: Routledge & Kegan

Paul

Herskovits, Melville J. 1955. Cultural Anthropology. New York: Alfred A. Knop

Hertanto, Meiyani. 1991. Desain Sesudah Modernisme. Skripsi pada FSRD ITB

Jajang S. 1997. “Antara Seniman dan Perajin”. Harian Nusa Tenggara. September,

 Minggu ke-2 1997

______. 1997. “Estetika Seni Modern dalam Pendekatan Psikologi Analitik: Sebuah

 Kajian Pustaka”. Makalah dalam SeminarProgram Studi Pendidikan Seni Rupa,

 STKIP Singaraja, Agustus 1997

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta

Kranz, Stewart. 1974. Science & Technology in the Arts. New York: Van Nostrand

 Reinhold Company

Layton, Robert. 1981. The Anthropology of Art. London: Granada Publishing

Lennhardt, Jacques. 1978. “The Sociological Approach”, dalam Main Trends of

 Research in the Social and Human Sciences. New York: Hague

Murose, Miyeko. 1997. The Art of Japan. New York: McGraw-Hill Book Company

Myers, Bernard S. 1961. Undestanding the Arts. New York: The City College

Poerwadarminta, W.J.S. 1991. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai

 Pustaka

Read, Herbert. 1958. Education Through Art. New York: Pantheon Books Inc.

Rice, David Talbot. 1975. Islamic Art. London: Themes and Hudson

Sachari, Agus (Peny.). 1986. Seni, Desain & Teknologi. Bandung: Pustaka

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Bahasa. 1989. Kamus Besar Bahasa

 Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Wagner, Frits A. 1959. Indonesia: The Art of an Island Group. New York: McGraw-

 Hill Company, Inc.

Wassing, Rene S. 1968. African Art. Its Background and Tradirtions. New York:

Harry N. Abrams

Wojowasito, S. 1982. Kamus Inggeris-Indonesia. Bandung: Pangarang

 


Comments

Popular posts from this blog

Ramanus Netje-SejarahSeniKriyaDanDesain-LatihanTugas1

TUGAS LATIHAN 2 INFOGRAFIS