Sekilas Tentang Aliran Seni Rupa

 

SEKILAS TENTANG ALIRAN SENI RUPA

 


5.1 Batasan Pengertian Aliran dalam Seni Rupa

Aliran, gaya, isme, mazhab, dan paham, adalah sebutan-sebutan yang kerap dipakai dalam seni rupa. Secarakasat mata, aliran itu bisa diibaratkan sebuah pakaian. Seseorang yang berpakaian “terbuka” dia akan menggambarkan keterbukaan pikiran tersebut di dalam karyanya. Seorang seniman yang berpikiran rumit, penuh embel-embel, ingin mengisi seluruh ruang garapannya, akan menampilkan karya yang kita kenal sebagai karya yang penuh hiasan. Orang yang berpikir bahwa yang utama itu adalah pengabdian kepada raja, kaum istana, pemegang modal, maesenas, maka karya mereka akan menggambarkan ‘pengabdian’ kepada maesenas tersebut. Begitupun orang yang tidak suka kepada golongan tertentu, dia bisa menggambarkan ketidaksenangannya dalam karya.

Aliran, pada awalnya hanya gambaran ciri milik individu tertentu. Aliran, bisa juga awalnya merupakan gambaran ciri kelompok tertentu. Aliran, mungkin juga awalnya adalah gambaran ciri sebuah keadaan, kondisi zaman. Dalam perkembangan seni rupa Barat, aliran “muncul tidak saja bertumbuhan secara bersama, tetapi juga bersimpang-siur.Bahkan kadang-kadang bertentangan yang satu dengan yang lainnya” (Arifin, 1985: 122).

            Sejalan dengan ciri masyarakat modern Barat pada saat aliran-aliran itu mulai muncul, banyak seniman yang kemudian berganti-ganti aliran sesuai dengan pola dasar pencarian yang tanpa henti. Pablo Picasso, misalnya, salah seorang pelukis Barat terkenal, gaya lukisannya berulang kali berubah hingga dia menenukan aliran yang paling mantap untuk ciri dirinya: aliran kubis (cubisme). Di Indonesia, misalnya pelukis Affandi, pada periode melukis tertentu dia menggunakan gaya naturalistis untuk melukis tokoh-tokoh yang dekat dengannya, ibu misalnya. Tetapi kemudian Affandi berubah menjadi expressionist seperti Oskar Kokoschka atau Vincent van Gogh. Dalam masyarakat tradisi kita mengenal seni tradisi yang diikat oleh aneka pakem (aturan, norma, nilai, konvensi, awig-awig). Pakem itu akan tetap dipertahankan selama masyarakat pendukung jenis kesenian tersebut masih menunjangnya.

            Dalam dunia seni rupa, yang paling cepat mengalami perubahan adalah seni imba (representational art), seperti seni lukis, seni patung, dan seni grafis, dibanding seni bangun. Seni bangun berubah mengikuti permintaan pasar. Sementara itu, seni imba, karena terkait dengan kebebasan pribadi, seni yang mewakili gambaran pribadi senimannya, lebih bebas mengalami perubahan sejalan dengan keinginan masing-masing pribadi seniman.


5.2 ALIRAN-ALIRAN SENI RUPA MODERN

5.2.1 Neoklasisime

Istilah Neoklasisime berarti “berpedoman kepada seni klasik dan mitologi Yunan”. Aliran ini adalah aliran yang resmi dianut dan dilindungi oleh istana. Seniman yang bekerja di luar istana biasanya merupakan seniman muda, dengan sendirinya memiliki pemikiran dan sikap tanggapan yang lain. Mereka menganggap seni yang dilindungi istana tadi tidak menunjang gejolak revolusi yang sedang berlangsung. Jadi, mereka menolak tema istana dan mitologi Yunani.

Aliran Neoklasisisme ini berpusat di kerajaan Perancis. Raja Louis XVI adalah raja pelindung utamanya. Tokoh utama seniman Neoklasisisme adalah Jaques Louis David. Istana membentuk kumpulan orang-orang yang dianggap ahli, termasuk David sendiri, untuk menilai hasil seni yang baik.

5.2.2 Romantisme

Aliran ini lebih banyak menampilkan gambar kejadian yang dahsyat, penuh hayal, dan gejolak perasaan. Aliran ini merupakan aliran anti-klasik dan anti-renaissance. Hal-hal yang fantastik atau tentang kejadian-kejadian masa kuno, dan petualangan, merupakan ciri yang digambarkan dalam lukisan-lukisan aliran ini. Gerakan Raomantisme dimulai di Inggris.

Gericault dan Delacroix adalah penganut romantisme. Dengan surutnya kekuasaan istana, surutlah pengaruh Neoklasisisme, yang mengangkat posisi Romantisme menjadi aliran yang sangat berpengaruh, terutama pada zaman Revolusi Perancis. Di akademi, setelah masa Romantisme, orang berpendapat bahwa lukisan yang baik harus mengambil subjek yang baik. Subjek seperti pekerja dan petani hanya cocok untuk lukisan genre dalam tradisi lukisan Belanda.

5.2.3 Realisme

Setelah Revolusi Perancis, orang tidak lagi menyukai hal-hal yang mendebarkan. Orang mulai lagi menginginkan hal-hal yang wajar. Ini melahirkan aliran baru, Realisme. Dengan munculnya kebiasaan melukis kehidupan sehari-hari, yaitu kehidupan orang yang nya-ta, maka dituntut penggambaran latar belakang yang alami juga. Oleh karena itu, pelukis-pelukis pada masa itu, akhirnya merasa tidak puas dengan kebiasaan yang telah mereka jalani. Mereka mulai melukis di luar studio. Tempat mereka berkumpul adalah sebuah desa bernama Barbizon, dekat hutan Fountainblue.

Mereka mengamati alam dan pemandangan. Mereka merupakan pelukis yang menggambarkan alam secara nyata. Bahkan, di antara mereka ada yang kemudian mengkhususkan diri melukis pemandangan.

Melukis di luar studio menimbulkan kesulitan tentang cat minyak.Cat minyak tidak bisa mendadak dibuat di luar studio. Biasanya, cat minyak dibuat di dalam studio oleh para pelukis yang berstatus murid. Seorang pelukis kelahiran Amerika, Rand, menemukan cara baru dalam mengawetkan, mengemas cat minyak secara aman. Dia menyimpannya di dalam tube. Meskipun penemuan ini kecil, tetapi bagi pelukis-pelukis plain air hal itu adalah sebuah jalan besar untuk kelancaran kegiatan mereka. Mereka dapat membuat cat minyak di rumahnya dan memasuk-kannya ke dalam tube-tube timah sebagai tempat penyimpanan yang aman. Cara penyimpanan cata di dalam tube memberi kebebasan kepada mereka untuk melukis di mana saja, tanpa takut catnya akan kering.

5.2.4 Impressionisme

Kebiasaan melukis di luar studio ditentang oleh masyarakat, karena dianggap sangat ceroboh dan lukisannya dianggap belum selesai. Tetapi, para pelukis telah menganggap selesai lukisan yang mereka buat. Lahirlah lukisan yang tampilannya hanya menggambarkan kesan (l’impression) saja, seperti yang ditulis oleh seorang kritikus yang membahas pameran Mo-net. Tokoh-tokoh terkenal yang terkait dengan impressionisme antara lain: Eduard Manet, Claude Monet, Auguste Renoir, Edgar Degas, Camille Pissarro, dan Alfred Sisley.

5.2.5 Post Impressionisme

Pada saat Impressionisme telah diterima oleh masyarakat dan sebagain besar kritikus, sejumlah pelukis (terutama angkatan muda) merasa perlu “kembali memperhatikan cara melukis yang mendasar”. Dengan ditemukannya teori spektrum warna, yang menyanggah bahwa cahaya matahari hanya cahaya polos saja, hal ini memberi inspirasi kepada Signac untuk membuat teori bahwa suasana selalu dipengaruhi oleh spaktrum yang berubah-ubah.

Pendapat ini mempengaruhi lahirnya cara melukis di luar kebiasaan. Cara yang biasa adalah dengan mencampur cat di atas palet sebelum disapukan di atas kanvas. Cara yang baru adalah dengan menempatkan langsung warna-warna secara berdekatan satu sama lain.

Pada perkembangan selanjutnya ada di antara mereka yang kemudian membawa aliran baru yang lebih sering disebut Expressionisme. Banyak tokoh yang terikat dalam aliran ini, antara lain Vincent Van Gogh, Paul Gauguin, Ernst Ludwig Kirchner, Kartl Schmidt Rottluff, Emil Nolde, Ernst Barlach, Wassily Kandinsky, dan Paul Klee.

5.2.6 Cubisme

            Cubisme digagas oleh Pablo Picasso dan George Braque. Lukisan dengan gaya ini memiliki bahasa ungkapan yang khas. Dalam menerjemahkan alam sebagai objek-tiruan- bentuk lukisan, bentuk digambarkan dalam permukaan yang datar. Kesan kedalaman benda tidak lagi mengikuti cara pandang gaya pelukisan natural. Semua objek menjadi papar dan tembus pandang. Sesuatu yang jauh diletakkan di bagian atas. Cara pandang ini seperti yang biasa digunakan oleh anak-anak, manusia prasejarah, maupun senimanseniman masa lalu ketika menggambarkan sesuatu.

            Perkembangan awalnya dimulai dengan lukisan besar karya Pablo Picasso yang menggambarkan sekelompok perempuan sedang mandi: Les Demoiselles d’Avignon. Picasso melahirkan karya ini setelah dia menjelajahi Afrika dan tertarik oleh gaya patung suku Iberia.

            Rupa manusia merupakan objek yang paling banyak ditiru dalam lukisan-lukisan kubis. Cara pelukisan raut manusia sangat beragam. Pada awal perkembangannya, bentuk tiruan manusia masih mudah dikenali karena perubahan bentuk yang dibuat oleh pelukis hanya sekadar menampakkan stiliran, pemalihan rupa, atau pemiuhan (distorsi bentuk). Tetapi pada perkembang-an selanjutnya, bentuk-bentuk semakin dikaburkan dalam jalinan dan serakan bidang-bidang.

5.2.7 Futurisme, Daddaisme, Surrealisme,dan Abstract

Futurisme adalah aliran senirupa yang dibangun di luar Perancis, yaitu di Italia. Tokohnya Filippo Tornasso Marinetti. Aliran ini pada dasarnya mendobrak paham kubis yang dianggap statis dalam soal komposisi, garis, dan warna. Aliran Dada merupakan gerakan nihilis, anti seni, anti perasaan, dan cenderung menampakkan kekasaran dan kekerasan.

Surrealisme, aliran yang pada awalnya merupakan gerakan gdalam sastra: appolinaire. Dalam kreativitas seninya, kaum surrealist membebaskan diri dari kontrol kesadaran, sebebas orang yang sedang bermimpi. Gerakan ini sangat dipengaruhi oleh ajaran psikoanalisa Sigmund Freud.

Abstractionisme, lebih dikenal dengan Abstract (Abstrak) saja, merupakan gambaran perkembangan berpikir yang melepaskan diri dari wujud-wujud alam nyata. Aliran-aliran sebelumnya masih berpegang pada objek tertentu yang figuratif, yang bisa diindera. Pada aliran Abstrak, bentuk objek dikembalikan pada unsur-unsur bentuk yang paling mendasar: warna sebagai warna, garis sebagai garis, atau bidang sebagai bidang. Dalam perkembangannya, muncul Abstrak Impressionis, Abstrak Ekspressionis, dan Abstrak Geometris. Abstrak Impressionis masih menyisakan bentuk tertentu yang telah dimodifikasi, semi abstrak, abstraksi.

Pada masa selanjutnya, masa Post-Modern, aliran seni rupa muncul lagi sejalan dengan pola pikir zaman. Perulangan selalu tampak, meskipun tidak semuanya persis.

Optic Art (Op Art) dan Pop Art adalah dua di antara aliran-aliran yang muncul sejalan pikiran modern kekinian. Mereka memutarbalikkan aturan yang telah mapan sebelumnya. Op Art mi-salnya, mengulang-ulang bentuk yang pada teori seni rupa sebelumnya dianggap sesuatu yang tabu.

Pop Art pun demikian, para pelukis yang menggunakan pola pikir Pop Art, mereka mendaurulang karya orang lain untuk disusun dalam suatu gubahan baru yang menarik. Misalnya meniru bentuk-bentuk yang ada dalam buku komik terkenal, menyusun foto seniman terkenal yang ditata secara berulang mengikuti pola seni hias.


 

5.3 SUBJEKTIVISME DALAM SENI RUPA MODERN:

Kupasan Tentang Lukisan Cubism

Oleh Jajang Suryana

 

Estetika Barat konvensional lahir pada abad XVIII. Konsep estetika tersebut terutama muncul dalam tesis filsuf dan penulis Jerman seperti Baumgarten, Kant, dan Schiller. Alexander Baumgarten (1714 - 1762) menemukan nama aesthetics dari bahasa Yunani, aisthesis, yang bermakna sense perception, cerapan rasa. Istilah tersebut, oleh filsuf masa lalu, dinyatakan sebagai teori keindahan atau filsafat citarasa. Baumgarten memilih kata aisthesis untuk menegaskan bahwa pengalaman seni adalah alat pengetahuan.

            Para filsuf masa lalu, sekalipun berselisih paham tentang pendefinisian istilah estetika, mereka sepakat bahwa dalam kajian estetika ada tiga tingkat pertanyaan. Pertama, pertanyaan yang menggambarkan, menafsirkan, atau menilai kegiatan seni secara khusus. Kedua, tentang penggambaran sifat istimewa gaya-gaya seni, yang sangat umum dibuat oleh ahli sastra, musik, maupun ahli teori seni rupa.

            Ada dua sifat pendekatan estetika: estetika filosofis dan estetika saintifis. Estetika filosofis memiliki gugus tugas analisis “kebenaran” konsep, pernyataan seni. Estetika saintifis -estetika ilmiah ini disebut juga sebagai estetika psikologis, karena menggunakan perangkat teori psikologi-meliputi pertanyaan-pertanyaan keilmuan yang bisa dijawab melalui metode empiris.

 

ESTETIKA FILOSOFIS

Estetika filosofis disebut juga metacriticism. Ia, seperti disebut oleh para ahli filsafat, berisi analisis atau kupasan tentang pengertian-pengertian yang mereka gunakan ketika membuat pertanyaan-pertanyaan ihwal seni. Pertanyaan, penafsiran, dan penilaian seni merupakan bahasan yang mendasar.

Beberapa teori estetis yang dikelompokkan ke dalam estetika filosofis adalah sebagai berikut. Attitude Theory (teori sikap) dipelopori oleh Edward Bullough. Teori Bullough menyangkut konsep psychical distance (jarak psikis) yang menunjuk keadaan psikologis khusus, yaitu berkaitan dengan kegiatan yang disebut dengan istilah cerapan tak memihak (disinterested perception). Keindahan sebuah objek adalah hasil pikiran penikmat, penonton, karena semua objek adalah objek estetis. Nilai sesuatu sangat tergantung kepada sikap subjek, penikmat.

Benedetto Croce, seorang filsuf Italia, berpendapat bahwa kegiatan seni adalah wahana ekspresi seniman. Hasil karya seni adalah alat komunikasi.

 

 

 

Teori estetis yang lain adalah evaluative theories. Beberapa teori penilaian (evaluative theory) ini di antaranya:

1. Intuitionism : teori ini menegaskan bahwa penilaian sesuatu itu indah, baik, buruk, menunjuk kepada sesuatu yang bernilai non-empiris, hanya bisa dinilai secara intuitif. Teori keindahan milik Plato merupakan versi awal intuitionism ini.

2. Subjectivism : agark berbeda dengan intuitionism. Penilaian indah, baik, atau buruk itu me-nunjuk bahwa bila sesuatu dinilai indah, sesuatu itu, paling tidak, menyenangkan pencerapan; baik bisa berarti “saya menyukainya”; dan buruk mungkin bermakna “saya tidak menyetujuinya”, dan sebagainya.

3. Emotivism: sebuah pandangan yang mengandung penilaian bahwa indah, baik, atau buruk itu hanya menunjuk pada perasaan pengguna kata tersebut. Keindaha misalnya, ada dalam mata pelihat. Konsep ini hampir sama dengan teori Bullough.

4. Instrumentalism: dalam teori ini pendefinisian istilah penilaian yang digunakan dalam meng-ukur keindahan sangat dihindari. Kerja seni yang baik, dalam pandangan paham ini, adalah ibarat membuat suatu pengalaman estetis yang berharga bagi penikmat. Berolah seni adalah kegiatan mimesis (meniru). Tesis ini adalah buah pikir Plato. Peniruan, menurut Plato, bukanlah meniru sesuatu yang kasat mata, melainkan sesuatu yang ada di balik dunia nyata. Bentuk-bentuk hasil tiruan alam nyata oleh Plato ditempatkan dalam posisi yang lebih rendah, hanya sekadar techne.

            Tesis Plato tentang seni banyak berpengaruh kepada filsuf angkatan selanjutnya. Selain teori “seni adalah peniruan”, Plato juga mengembangkan teori lain, juga banyak diikuti oleh filsuf lain, yaitu “seni adalah ekspresi”, “seni adalah hasrat pemenuhan”, dan “seni adalah bermain”.

            Seperti Plato, Aristoteles menyimpulkan bahwa seni adalah proses produksi yang menggunakan peniruan sebagai pokok bahasa utama. Ia mengembangkan teori chatarsis sebagai tandingan terhadap apa yang disalahmengertikan oleh Plato tentang pengaruh seni terhadap penonton.

            Berdasarkan pada teori keindahan dari Plato, St. Agustine mengembangkan konsep keindahan seni yang berhubungan dengan nilai keagamaan. Pandangannya sangat berpengaruh dalam konsep ruang seni bangun Gothic.

            Teori Plato dan Aristotle terus berpengarunkepada filsuf Ranaissance. Penerjemahan juga perbaikan konsep-konsep yang pernah mereka kemukakan, terus dilakukan. Misalnya yang dilakukan oleh Marsilio Ficino dan Giordano Bruno. Yang paling menarik adalah yang dikembangkan oleh Leo Battista Alberti, yang kemudian hari sangat berpengaruh kepada prinsip keruangan dalam lukisan.

            Anthony Ashley Cooper yang mengembangkan konsep metafisik neoplatonistik yang dikelompokkan sebagai estetika masa modern awal. Gagasan Cooper tentang estetika perenungan, yang berasas keseimbangan alam dengan manusia dan dalam menilai keindahan mengutamakan rasa serta citarasa moral, dibantah oleh Thomas Hobbes.

            Seperti Hume, Immanuel Kant menganggap bahwa objek yang disebut indah adalah ketika bentuknya menunjukkan kerukunan yang saling berpengaruh antara citra dan pengertian. Penilaian rasa, demikian menurut Kant, seperti “lukisan itu indah”, bersifat subjektif dan tidak bisa ditegaskan sebagai konsep.

            Croce menyusun teori estetisnya --dikelompokkan sebagai contemporary aesthetics-- dalam sistem filosofis idealis. Baginya, estetika adalah bidang pengetahuan intuitif. Seni, menurut pendapatnya, sama dengan intuisi; seni ada dalam pikiran seniman; sessuatu yang bersifat fisik yang dihasilkan oleh seniman bukanlah seni. Oleh karena itu, seni adalah emosi seniman. Prinsip-prinsip yang diajukan oleh Croce diikuti Robin G.Collingwood, seorang filsuf Inggris.

            George Santayana yang menyebut dirinya sebagai seorang materialist, sama seperti Hume dan Kant, menyangkal bahwa keindahan adalah sifat objektif sesuatu. Keindahan serupa dengan kesenangan yang dialami ketika objek-objek khusus dicerap, keindahan adalah sifat objek, perasaan senang diobjektifkan dalam pencerapan objek. Santayana pun menganggap penting faktor-faktor fisik dan psikik yang meliputi pengalaman estetik.

            Dikuasai oleh paham pragmatis, John Dewey, seorang filsuf Amerika, mempertahankan pendapatnya bahwa seni adalah bagian dari kehidupan yang biasa. Salahlah memisahkan seni dari kehidupan.

 

ESTETIKA ILMIAH

Estetika ilmiah (scientific aesthetics) meliputi pertanyaan ilmiah yang bisa dijawab melalui kegiatan empiris, menggunakan perangkat percobaan psikologi. Oleh karen itu, estetika ilmiah biasa juga disebut estetika psikologis. Dikenal empat golongan pendekatan dalam estetika ilmiah: psikologi eksperimen, psikologi introspektif, psikologi gestalt, dan psikoanalisa.

            Gustav Fechner dianggap sebagai penggagas estetika eksperimental, yang mencoba meme-cahkan persoalan-persoalan estetika melalui metode laboratoris. Eksperimen Fechner meliputi: penemuan tentang pilihan warna-warna, bentuk, suara, dan sejenisnya, serta menetapkan komposisi, dan percobaan tentang persoalan warna.

            Meskipun I.A. Richard tidak melakukan percobaan-percobaan, tulisan Principle of Literary Criticism-nya menunjukkan contoh ketertarikan Richard terhadap pengeruh teori psikologi eks-perimental dalam estetika.

            Psikologi introspektif memberi banyak sumbangan penting kepada estetika. Bullough, seperti yang telah dikemukakan di muka, dianggap sebagai seorang filsuf pertama yang berhubungan dengan teori sifat, seterusnya dia menempatkan teori jarak-psikisnya sebagai sebuah penemuan introspektif, sebuah kesadaran estetis.

            Gestaltism menekankan perhatian kepada sifat-sifat keseluruhan, sedangkan bagianbagian dianggap sebagai hal yang sekunder. Bagian hanya mempunyai arti sebagai unsur dari keseluruhan dalam hubungan fungsional dengan bagian yang lain.

            Pendekatan psikoanalisa berisi pengkajian seni melalui pembahasan model-model manusia pelaku seni. Telaah tentang subjektivisme di dalam lukisan cubism berikut ini menggunakan pendekatan bahasan psikoanalisa tersebut.

 

SUBJEKTIVISME DALAM LUKISAN CUBISM

Sejumlah lukisan gaya cubism dari beberapa pelukis yaitu Pablo Picasso, Georges Braque, Fernand Leger, Juan Gris, Charles Edouard Jeanneret, dan Ameede Ozenfant akan mejadi bagian bahasan dalam paparan ini. Pemilihan karya-karya bahasan dilakukan secara acak dari sejumlah besar lukisan gaya cubism yang cukup dikenal. Lukisan bergaya cubism memiliki bahasa ungkapan yang khas. Dalam menerjemahkan alam sebagai objek-tiruan untuk lukisan, bentuk digambarkan dalam kesan datar (flat). Kesan kedalaman benda tidak lagi mengikuti cara pandang gaya pelukisan natural. Sesuatu yang jauh diletakkan di bagian atas bidang gambar. Pola sederhana ini telah lama menjadi cara ungkap milik hampir semua manusia, baik manusia purba, tradisi, maupun anak-anak.

Penggagas gaya pelukisan cubism adalah Pablo Picasso dan Georges Braque. Pada awal pencariannya dalam wilayah olah gaya baru ini, mereka tidak mendapat dukungan dari seniman-seniman lain pada masanya. Tetapi sejak tahun 1920, gaya mereka mulai diikuti pelukis-pelukis muda Paris, yang kemudian mempengaruhi perkembangan baru di Italia, Jerman, Rusia, dan Inggris.

Rupa manusia merupakan objek yang banyak ditampilkan dalam lukisan-lukisan cubism. Cara pelukisan raut manusia beragam, mulai dari bentuk yang mudah dicerap, dikaburkan dengan teknik pemiuhan, hingga bentuk yang sangat kabur karena telah berubah menjadi susunan bidang, warna, bahkan garis. Dalam menggambarkan objek pelukis seakan mengelilingi objek. Mereka setia terhadap figur objek, sekalipun mereka melepaskan diri dari keterikan terhadap penggambaran sosok secara nyata.

Lukisan Still Life dengan unsur alat musik seperti gitar dan biola, merupakan tema yang banyak dipilih oleh para cubist. Picasso, Braque, Jeanneret, dan Ozenfant misalnya, memiliki lukisan dengan tema still life yangmenggambarkan objek yang hampir sama. Mereka tampaknya sangat menyukai tema ini.

Sesuai dengan latar belakang cara pandang para Cubist terhadap alam yang subjektif, mereka membuat jarak dengan rupa nyata. Faktor subjektif ini sangat menonjol, sehingga kebebasan dalam menggubah bentuk yang mereka miliki tidak membatasi keinginan mereka dalam mengembalikan rupa contohan ke dalam bentuk dasar geometris, silindris, yang merupakan proses berpikir abstrak.

Seni rupa modern,seperti diakui oleh pendukungnya, adalah gambaran manusia modern. Seniman modern, begitu juga umumnya manusia modern, memiliki sifat yang individualis. Produk kesenian yang dihargai adalah produk yang secara pasti menunjukkan ciri khas individu, bukan yang mencirikan kolektivitas. Oleh karena itu, senimanmodern terus-menerus mencari bentuk tampilan karya yang berciri pribadi. Memang, pada akhirnya, seniman modern lebih mementingkan kepuasan diri sendiri.

Pergantian pengaruh aliran dalam seni rupa modern merupakan hal yang sangat biasa. Gambaran gerak yang tanpa henti, gambaran sifat manusia modern, tampak di sana. Carl Gustav Jung melihat perubahan tersebut sebagai proses pergantian pengaruh dan sifat utama manusia yang akan terus berulang: extravert dengan introvert (Fodham, 1988).

 

PENGELOMPOKAN ALIRAN SENI RUPA MODERN

Seperti telah disebutkan, Jung membagi kelompok aliran seni rupa modern berdasarkan perbedaan dan persamaan kejiwaan yang menjadi ciri tampilan aliran tertentu. Secara garis besar, aliran-aliran seni rupamodern terbagi atas empat kelompok, seperti berikut.

 

1. Kelompok Realisme, Naturalisme, dan Impressionisme

Seniman-seniman yang termasuk ke dalam kelompok aliran ini, meminjam konsep hasil kajian Jung, dalam kegiatan berkarya mengutamakan unsur pikir. Peniruan terhadap alam mereka lakukan dalam peniruan dunia-luar. Mereka mencontoh alam secara nyata. Kenyataan yang mereka tangkap dalam kanvas adalah kenyataan yang tidak memerlukan penafsiran penikmat. Para realist mengangkat kenyataan kejadian; para naturalist meniru kenyataan alam; dan para impressionist --dimasukkan ke dalam kelompok ini-- (karena) mereka melukis dengan berusaha menangkap kenyataan cahaya. Dunia-luar objek adalah kondisi nyata yang secara visual tidak memerlukan penafsiran tertentu.

 

2. Kelompok Surrealisme dan Futurisme

Kelompok seniman ini, lebih dipengaruhi perasaan dalam mengolah objek karyanya. Keinginan melebih-lebihkan penggambaran sesuatu menjadi ciri tampilan karya mereka. Mereka menunjukkan perhatian terhadap nilai-nilai spiritual dalam menanggapi dunia luar alam. Imajinasi, bagi kelompok ini, sangat diagungkan. Imajinasi yang menguasai seniman kelompok ini bisa berupa imajinasi figuratif maupun nonfiguratif.

 

3. Kelompok Fauvisme dan Expressionisme

Peranan sensasi sangat kuat dalam konsep kegiatan kelompok ini. Seniman-seniman yang menganut gaya berkarya kelompok ini banyak menampilkan unsur kejutan-kejutan, ekspresi yang mengalir deras. Karya mereka menampilkan kerinduan terhadap sensasi rasa perseorangan senimannya. Kegiatan berkarya seniman-seniman kelompok ini dilatari oleh sikap objektif dan subjektif. Sensasi yang memotori sikap mereka, pada kelompok yang dikuasai sikap extravert, sangat dibatasi keadaan objek.

 

4. Kelompok Cubisme. Constructivisme, dan Functionalisme

Pada kelompok ini, sangat dipengaruhi intuisi. Intuisi menjadi titik pusat perhatian mereka. Mereka menunjukkan keasyikan mengolah bentuk-bentuk objek yang mujarad (abstrak). Kelompok ini bisa dikatakan cenderung menampilkan sikap introvert. Intuisi mereka, meskipun menjadi penggerak utama cara pikir mereka, tidak langsung berhubungan dengan bentuk eksternal di luar ekspresi. Di antara mereka ada juga yang bisa disebut sebagai kelompok yang bersikap extravert. Hal itu bisa dilihat dalam karya mereka yang berbentuk bangunan fungsional dan dalam sejumlah karya seni terap.

Seni rupa modern pada dasarnya adalah gambaran pola berpikir masyarakat modern. Tetapi, secara nyata, tidak semua masyarakat modern mendukung keberadaan model tampilan karya seni rupa tersebut.

Menurut para ahli, jarak yang muncul antara karya seni rupa modern dengan masyarakat dise-babkan karena kesenjangan cara berpikir. Apa yang dikerjakan oleh senimanseniman modern yang mengusung segala keinginbebasannya, lebih banyak tercerabut dari pola pikir masyara-kat umumnya.


 

PUSTAKA RUJUKAN

Arifin, Djauhar. 1985. Sejarah Seni Rupa. Bandung: Rosda

Myers, Bernard S. 1958. Understanding the Arts. New York: Holt, Rinehart and Winston

Read, Herbert. 1958. Education through Art. New York: Pantheon Book Inc.

Rowland, Kurt. 1973. A History of the Modern Movement: Art, Architecture, Design.

New York: Van Nostrand Reinhold Book

Sakri, Adjat. 1993. Seni Rupa dalam Dunia Modern. Bandung: Penerbitan ITB

Sudarmaji. 1979. Dasar-dasar Kritik Seni Rupa. Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah

Suryana, Jajang. 1993. “Subjektivisme dalam Seni Rupa Modern”, makalah pada PPs ITB

Sylvester, David (Ed.). 1993. The Book of Art. Vol. 8: Modern Art. London: Grolier

 

Comments

Popular posts from this blog

Ramanus Netje-SejarahSeniKriyaDanDesain-LatihanTugas1

TUGAS LATIHAN 2 INFOGRAFIS