IHWAL KARYA SENI RUPA 'REMEH'

 

IHWAL KARYA

SENI RUPA ‘REMEH’

 

6.1 Karya Seni Rupa “BEYOND THE PURE ART”

Banyak karya seni rupa yang tidak mendapat perhatian khusus dari para teoretisi seni rupa. Hal itu dikaitkan dengan anggapan bahwa karya-karya tersebut dianggap bukan karya adiluhung, yang menggambarkan latar belakang pemikiran akademisi. Para pekota, “lawan” pedesa, telah membangun gap theory yang membentengi lingkaran teori seni rupa akdemis-otodidak. Tudingan para pekota selalu terarah kepada nihilnya nilai estetis karya para pedesa, dan dalam pandangan mereka, pekerjaan para pedesa tidak pernah terorganisir secara teoretis-akademis.

Ketika para pekota di Barat beranggapan bahwa seni utama adalah seni lukis, seni patung, dan seni bangun (ditambah seni gambar dan puisi), maka para pekota di hampir semua belahan dunia pun memegang prinsip tersebut. Ketimpangan sikap sosial yang melatari pola teori Barat tidak begitu diperhatikan oleh para pelangsung dan pendukung teori tersebut.

 

6.1.1 Mengulas Seni Nusantara

 Oleh Sudjoko

(Makalah dalam Dialog Kesenirupaan Indonesia: Eksistensi Seni Rupa dalam Perkembangan Ekonomi), di Gedung Pameran Seni Rupa, Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 25 - 27 Februari 1992

 

Panitia telah minta saya berbicara “sebagai pendidik”. Jadi harap maklum saja kalau uraian berikut sesekali juga menyentuh pendidikan.

 

Dampak Kata

Orang sekarang tidak tahu bahwa kata KRITIK itu disontek dari bahasa Barat (catatan kaki yang diubah: tanpa paham bahasa Barat, kita sekarang berhak menjadi sarjana, dan dosen. Dulu sih mustahil). Yang tahu pun mungkin tidak tahu dari kata apa: critic, critiek, kritisch, critique, critisize, critical, criticism .... yang maknanya seperti bunglon.

Karena segan menyelundupkan bunglon bule ke bahasa kita, saya memilih kata pribumi saja. Kita berhak mengasihani atau mencela warga yang meremehkan bahasa Indonesia. Tetapi bahasa asing tak masuk UUD 45 maupun GBHN,jadi kita boleh saja bego bahasa asing. Jelasnya, saya memilih kata ULAS. Artinya bahas, kupas, urai, syarah, yang pokoknya bukan kecam-an (atau belum tentu kecaman). Kata ‘kritik’ memang disebut Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI). Sialnya, keterangannya justru tidak cocok dengan maunya ‘kritik’ seni. (Tetapi yang tahu kan cuma segelintir ‘orang seni’, bukan?).

 

Sontek

Orang (berapa gelintir?) yang tahu kritik seni di Barat bisa berkata, “Maksud kritik seni itu sebenarnya begini”. Dan “begini” itu yan nebeng maksud Barat itu, lengkap dengan aneka istilahnya dan teorinya (asal tidak salah mengerti). Memakai tembung (catatan kaki yang diubah: tembung [Jw] bisa berarti sebuah kata, sekumpulan kata, bahkan juga bahasa) tebeng biasanya memang sekaligus menyedot isinya asal sono juga. Tentu, sepanjang yang dapat kita cerna (Maklum bahasa Barat ..). Itu tentang arti ‘kritik seni’.

Dan arti ‘disain’? Dalam suatu bincang disain di ITB yang diahdiri peminat dari berbagai kota, Solichin Gunawan, seorang ahli, menjawab kira2 begini: “Wah, susah dijawab. Tiap tahun artinya berubah. Maka itu kita harus terusmengikuti literatur Barat terbaru. Kalau tidak, kita akan ketinggalan terus”. Kita tak usah heran melihat sarjana dan mahasiswa yang mendengarnya menjadi terkelu, tak berdaya. Sudah tak paham bahasa Barat, itu ‘literatur Barat terbaru’ juga tidak ada.Tangan begitu pendek, tetapi disuruh memeluk gunung. Dan semua ini cuma gara2 mau ‘internasional’, gara2 malu memakai kata pribumi yang katanya tak cocoklah, kurang inilah, miskin itulah, tidak umumlah, pokoknya kurang gengsilah. Sama halanya kritik seni. Sang pekritik minta kita manggut2 kepada sejumlah buku Barat yang belum tentu dia pahami (susah dibaca deh!) dan yang di perti (maksudnya perguruan tinggi, pengutip) tidak ada.

Nyontek atau nebeng memang sangat perlu, sebab sering menguntungkan. Tetapi kalau tiap kali otak kita dibuat sesat atau diobrak-abrik oleh otak sibule, sudah waktunyalah kita mempertanyakan kedaulatan kita dalam berpikir.

Dr. Sugito (dosen Fakultas Kedokteran UI) pernah bertanya kepada saya: “Indonesianya patient apa?”. Jawab saya, “Pelara saja, atau pesakit”. Langsung saja pak Gito menjawab, “Salah! Di Barat sekarang, orang sehat juga disebut patient!”. Tuh, gara2 menyembah istilah bule kita gampang sekali dibikin salah terus, dan linglung, dan ... bego.

Selama ulah sontek kita masih terus latah saja, pantas juga kita mempertanyakan kadar kedaulatan bangsa kita. Tetapi ada satu cara mengatasinya: ambil saja tembung pribumi. Misalnya ULAS SENI. Ini mendorong kita mencipta maknanya sendiri, dan tidak menggiring naluri kita untuk bertanya kepada pakar manca (lalu manggut2 kebegoan). Hanya yang sudah terpaku pada tembung ‘kritik seni’ saja yang akan bertanya, “Apa itu ulas seni?”.

Apa? Jawabanya kita susun sendiri saja menurut pengalaman dan tanggung jawab kita yang terbaik, dan menurut kenyataan dan keperluan rakyat kita sendiri. Tetapi ini minta kemauan untuk berpikir sendiri, melihat kenyataan dunia Nusantara sendiri, dan mempercayai bahasa kita sendiri.

 

Seni Baru

Ada kata lama yang ketambahan makna baru: SENI. Maknanya yang lama tetap berlaku, misalnya ‘air seni’. Makna barunya muncul sekitar tahun 1950, yang kemudian menetaskan tetembung seperti seperti ‘seniman’, ‘kesenian’, ‘pendidikan seni’, ‘film seni’, ‘nyeni’, dan belakangan ini ‘kritik seni’. Anak kita percaya saja bahwa semua ini sudah ada sejak baheula, padahal bikinan baru, dan saat lahir juga membuat orang bertanya, “Apa itu seniman? Jago kencing?”

Tetapi mengapa ‘kritik seni’? Sebab tembung pribuminya tidak disukai, atau dikira tidak ada. Dan karena kita makin gilatebeng, kita sonteklah bunyi Barat, yang sejak 1980 ditambah mantera “sudah internasional kok”, dan sejak 1990 diperindah dengan “globalisasi lho mas”.

Orang Belanda sendiri yang mengajar ‘seni rupa’ di sini resminya tidak pernah menggunakan istilah kunstcritiek (= kritik seni). Nama matakuliahnya saja Kunstbeschouswing (‘Tilik Seni’). Dengan sendirinya mahasiswa tidak diajari ‘ngritik’. Lalu dengan mudiknya guru2 Belanda kita mulai banyak membeo sang adidaya. Sementara itu sejak 1970an menggema tembung ‘kritik sastra’, ‘kritik seni’, dan ‘kritik film’. Semua ingin menyamai krotak-kritik di manca berikut nekateorinya sekalian. Otak kita ‘membayar hak cipta’ sono dengan menyedot aneka ‘kata orang’ sono, peristilahan, carapikir, carapilih, caranilai, perilaku di sono dll, tentu sejauh, sesempit, atau sebenar yang kita ketahui. Makanya ‘sikampus’ bersikeras bahwa sebelum abad 20 di Nusantara belum ada ‘disain’ dan ‘disainer’. Yang ada cuma rakyat gugon (takhyulan) yang membuat barang cuma pakai bantuan jampi2 dan bau kemenyan. Pokoknya tanpa otak, ilmu disain maupun ergonomics. Pesombong ini sebenarnya tak paham bahasa asing, cuma membeo gurunya saja, dan tidak pernah memeriksa rerupa buatan rakyat kita, saking keblingernya dia oleh yang serba Barat.

 

Kritik Senirupa

Kritik tari ditulis oleh penari. Kritik musik ditulis oleh pemusik. Kritik sastra oleh sastrawan. Kritik arsitektur oleh arsitek. Kritik sandiwara oleh pesandiwara.

Dan kritik senirupa? Wah, ini mah bukan kerjaan perupa. Nggak wajar dong kalau perupa menulis. Biar saja orang lain yang bertempur dengan mesin tik. Yang merasa tidak butuh kritik ialah arsitek. Maka itu bukan mereka yang suka meributkan kritik seni. Habis, belum juga bangunan digambar, persekot jutaan rupiah sudah masuk saku. Begitu juga jaminan pelukis dan pematung yang mendapat projek. Jadi yang butuh kritik seni itu sebenarnya siapa? Dan supaya apa?

Seni Rupa

Dalam ‘kritik seni’ kita, seni rupa itu sejenis lukisan berbingkai. Pokoknya yang seperti di sonolah. Hanya kadang2 dia itu patung, gerabah, dan gambar pena, itupun harus yang ‘murni’. Buatannya mesti bisa dicap dengan istilah membarat, misalnya ekspresionis, surealis, dan sebagainya.

Seni rupa itu selalu bikinan ibu kota, itupun tiga saja: Jakarta, Bandung, dan Yogya. Surabaya bisa juga dirangkul. Entah Solo. Kalau Semarang, Pekalongan, Manado, Ambon dan lain-lain itu sih “tidak dianggep”. Oleh siapa? Tentu saja oleh kaum ‘trikota’ tadi. Kalau ditanya, alasannya ‘mutu’. Dan mutu apa? Tentu saja mutu jenis senirupa yang dirajai triquota.

Pembuat senirupa itu selalu bukan-jelata. Yang nyleneh cuma seniman Bali. Rata2 pedusun semua. Tetapi itu perkara kecil. Bikinannya sebut saja lukisan Bali. Jadi temannya di Nusantara cuma lukisan Jawa.

Pernahkah kita renungkan apa akibatnya kalau seni rupa Indonesia itu diatur oleh kaum kota besar Jawa melulu? Nyatanya itu toh cuma ‘kliek’ tertentu saja yang jauh dari alam senirupa Ade Sunandar Sunarya, Ki Warno Waskito, Ir. Guritno, Sumarah Adhyatman, dan ndoro Go Tik Swan. Perkara kritik seni sama saja. Makanya senirupa Indonesia itu terlalu penting untuk diatur oleh mereka saja. Kecuali kalau mereka itu memang Nusantarawan sejati.

 

Serba Rupa

Orang yang belajar seni rupa di lembaga tinggi kita dapat memilih bidang yang kebetulan disukai ‘kritik seni rupa’. Tetapi dia juga bisa memadaikan diri bidang tenun, batik, ukir, iklan, rekaruang, rekabenda, rekabuku, pariwara, dll.

Karena itu para mahasiswa mengikuti segala macam sayembara senirupa yang disiarkan koran (membuat pariwara, logo, piala dll). Banyak lulusan bekerja menangani senirupa di majalah, perusahaan iklan, pabrik tenun, pabrik mebel dll. Kawasan senirupa teramat luas, dan mahasiswa diberi kesempatan untuk menggarap apa saja di situ yang mereka minati. Matakuliah Seminar dan Skripsi khusus disediakan untuk itu. Misalnya, dengan bimbingan saya ada yang menulis skripsi tentang segala kemasan/wadah jajanan Jawa: kupat, klepon dll. Inilah senirupa yang tak ada duanya di dunia.

Guru2nya sering mengerjakan nekarupa. (Pelukis) Achmad Sadali sering merancang perabot rumah (pesanan orang dan arsitek), menangani rekaruang gedung besar dll. (Pelukis) Srihadi Sudarsono menggambari buku dan majalah, menghiasi kapal laut, merancang huruf, mencipta logo dll. (Pematung) Sunaryo merancang piala, kulit buku, reruang hotel dll. Yusuf Affendy menenun, melukis, mengajar ‘Busana dan Mode’ (di ITB), banyak menulis mengenai industri kecil, anyaman, ukiran dll di koran daerah, membuat gerabah keperluan harian untuk dagangan toko (bukan untuk ‘galeri’), dan menghiasi ratusan payung dengan bebunga (bersama pedusun, juga tidak untuk ‘pameran seni’). Kerja Sutanto di Pikiran Rakyat setali tiga uang dengan kerja GM Sudarta di Kompas. Dosen2 lain juga berbuat serupa.

Itulah seni rupa. Tetapi itulah yang tidak ada dalam kritik seni rupa.

Serbamoh

Cuma (kecuali Yusuf Affendy), mereka itu --dan hampir semua sarjana senirupa lain-- tidak doyan menulis makalah dan artikel, bahkan menulis diktat juga tidak. Di sinilah sumber lain dari ‘masalah kritik seni kita’. Tetapi beginilah bangsa kita dan seniman kita ini, termasuk yang tertinggi pendidikannya: moh-nulis, selalu berdalih “tidak bisa menulis” atau “bukan tugasku menulis”. Karena kuatnya adat mohtulis ini bangsa kita juga tidak pernah punya minat untuk menggalakkan rangsangan menulis. Kita baru pandai merangsang orang untuk menjadi penyanyi pop.

Virus Lain Bernama Mohteori

Ini menulari sebagian ‘dosen praktek seni’ (guru melukis, mematung dll). Nalarnya begini: teori itu bukan kerjaan ‘guru praktek’, termasuk teori tentang bidang-praktek mereka sendiri. Jadi kalau dikirim ke luar negeri, mereka hanya mau ‘kerja praktek’ melulu. Kembalinya tentu saja tanpa ijazah tambahan.

perlunya teori dalam mengajarkan praktek mereka, di masa 80an diciptakan obatnya: teori itu kerjaan ‘dosen teori’. Jadi mesti ditunjuk dosen-teori buat mengajar teori lukisan, teori patung, teori tenun dst. Di Barat juga begitu, katanya. Tetapi, apanya yang “begitu”? Langkanya teoriwan senirupa? Langkanya kaum sukabaca? Di kita, sialnya, itu ‘dosen teori’ terlalu langka. Masalahnya jelas: membaca dan membaca buku2 berbahasa asing. Padahal kita ini bangsa mohbaca dan mohtahu bahasa asing.

Singkatnya, adat mohtulis-mohteori-mohbaca inilah biang lain dari masalah ulas seni kita. Memang, belakangan ini muncul momoknya, yaitu syarat naik pangkat di perti negeri.

Televisi

Hampir tiap malam TVRI menayangkan seni rupa, sebagai warta pendek maupun tayangan panjang. Pewarta TV, mungkin karena tidak pernah belajar teori seni memBarat, leluasa saja mengejar rerupa yang menarik dan elok. Dia mengajak kita nonton (pameran) seni yang tak digubris pekritik dan dicibir kaum mongkok. Paling tidak dia bicara, minta seniman dan penikmat nimbrung. Kritik seni? Bukan. Ini warta seni, bincang seni. Ini mestinya jatah pengamat seni berpengetahuan jembar. Tapi seniman mana yang mau jadi wartawan TV? Bagaimanapun juga, semua tadi nyata berselisih jalan dengan ‘kritik seni’.

Kajirupa

Seni rupa itu ditilik lewat banyak jurus. Yaitu ada jurus antropologi, jurus sosiologi, jurus nafkah rakyat kecil, jurus pembangunan desa, jurus pariwisata, jurus ekspor nonmigas, jurus pabrik, pokoknya banyak jurus. Masing2 punya patokannya, maksud-tujuannya, caranya, kebiasaannya, dan penilaiannya sendiri.

Kritik

            Salah satu biang masalah KRITIK SENIRUPA berpangkal pada tembung ‘kritik seni’ itu sendiri, sebab menyelundupkan muatan2 berikut dari sumber Baratnya: 1) hanya mengitari satu-dua jenis senirupa; 2) berpatokan ‘seni murni’; 3) hanya menggauli seni baru; 4) hanya menyoroti seni pribadian; 5) hanya menonjolkan seni kotabesar; 6) hanya melayani kaum tengahatas; 7) hanya menguntungkan senirupa kota besar Jawa; 8) hanya menggunakan peristilahan Barat.

Kritik senirupa hanya mengurusi sebagian kecil senirupa di Nusantara (biarpun yang paling besar mulut), alias tidak berwawasan Nusantara. Maka itu ada baiknya nama diganti dengan bahas seni, tilik seni atau ulas seni saja, lalu kita isi muatannya. Di Barat, kritik itu menggarap apa yang bukan menjadi bagian ribuan pengarang tanggap seni dan kajiseni. Kritik seni itu cara pers (dan guru) mengulas pameran seni, dan pers itu juga aneka majalah seni yang terus laku.

Biarpun sudah lama merdeka, kita ini masih jauh dari mandiri dalam berpikir, dan masih lebih senang dicekoki orang luar. Malah gengsi dicari lewat nyadong.

TV dan Pers

Dengan demikian dewasa ini peranan pers dan TV menjadi paling menentukan (entah harus sampai kapan). Segala jenis uraian senirupa masih harus ditumpahkan di situ. Kalau di negara maju tidak begitu, ya itu karena negara itu sudah maju. Yang perlu disajikan TV/pers ialah ilmu seni, tanggap seni, dan ulas seni, secara terpisah maupun tergabung. Ilmu seni berisi pengetahuan selintas mengenai aneka istilah, nama, cerita, adat, sejarah, guna, kiat, nafkah dll. Tanggap seni memberi pengantar dalam acara melihat, menggunakan, menghargai, dan membuat rerupa. Ulas seni membimbing pembaca/penonton dalam menilai seni yang sedang/baru/akan dipamerkan, diberitakan, dibangun dsb.

 

Tulisan berikut adalah makalah Dr. Sanento Yuliman, dosen FSRD ITB yang kritikus seni ternama. Tulisannya banyak dimuat di antaranya dalam majalah Tempo.


 

6.1.2 BATIK, SANG PENJELAJAH

Pokok pikiran diajukan dalam Sarasehan Batik, pada 9 September 1990

di Dalem Ageng Ambarrukmo Palace Hotel, Yogyakarta, dalam rangka Dies

Natalis Asrama Mahasiswa GKBI Yogyakarta.

Oleh Saneno Yuliman

 

“Menjelajah”, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia 1976, berarti menjajah atau bepergian, menyelidiki, dsb, ke mana-mana. Diterapkan untuk batik, kata itu tentu saja digunakan dalam arti kias.

Perumitan dan Penghalusan

Kita tidak mempunyai tinggalan kain atau perca kain yang secara arkeologi dapat disimpulkan sebagai hasil awal-mula batik. Bahkan beberapa pandangan masih mempertengkarkan asal-usul batik. Tetapi kita mengetahui praktek yang memungkinkan kita membayangkan – meskipun tidak amat jelas dan pasti – batik pada suatu tahap terdahulu.

Terdapat jarak jauh antara batik sederhana dan kasar seperti itu di satu pihak, dan batik klasik, tradisional, Jawa, di pihak lain. Orang hanya dapat takjub melihat kerumitan teknik yang menyangga ketinggian mutu itu. Proses pembuatan kain batik cukup rumit. Seluruhnya ada 5 macam proses pokok, dari penyiapan kain hingga nglorod (menghilangkan malam) dan proses akhir. Masing-masing proses itu berisi sejumlah proses. Penyiapan kain, misalnya, meliputi 4 tahap atau proses (mencuci, ngetel, nganji, ngemplong), sedang proses kerja dengan malam, berisi 6 proses (nglowongi, nembok, mbironi, nonyok, ngremuk, cocohan). Tentunya kita perlu mengingat pula peralatan dan perlengkapan yang digunakan.

Terdapat perkembangan yang jauh dalam teknik, dari batik sederhana dan kasar yang telah kita singgung di muka, ke batik Jawa yang kita sebut tradisional atau klasik. Empat ribu orang wanita sedang membatik yang disaksikan Rijklof van Goens waktu Gubernur V.O.C. itu mengunjungi keraton Mataram pada 1606 menunjukkan, bahwa pada awal abad ke-17 batik telah menjadi seni, dan industri, yang penting dalam keraton Mataram. Sebagian dipacu oleh tuntutan perkembangan kebudayaan Jawa sendiri. Dalam melukiskan perubahan sosiologis masyarakat Jawa dari abad ke-17 sampai dengan abad ke-19, D.H.


 

Perluasan Konsumen dan Penekaragaman Kebutuhan

Di jaman kita, batik memperluas kawasannya ke daerah-daerah di luar Jawa dan menyerap serta mengolah berbagai unsur yang semula berada di luar rengkuhan batik. Pemakaian busana tradisional menyusut, hingga di masa kita sekarang terbatas pada pesta dan upacara, khususnya bagi wanita. Tetapi batik memperluas jelajahannya di bidang guna. Di masa kita sekaramg kawasan batik mencakup banyak macam pakaian, berjenisjenis perlengkapan, dan berbagai barang untuk berbagai macam keperluan.

Memudarnya masyarakat tradisional, ekonomi pasar, perluasan konsumen, tampaknya telah menambah dinamika batik, memperluas dan mempergencar penjelajahannya. Satu lagi: ketika adat memudar, ikatan etnis, kerabat, dan daerah melonggar, batik bertemu dengan kumpulan luas individu yang serbaragam. Dan batik, sebagai sandang, sebagai perlengkapan diri dan perlengkapan rumah, tak ayal memasuki wilayah pribadi – bertemu dengan citra diri dan cita rasa yang sangat anekaragam dan berubah-ubah dalam kumpulan individu yang sangat luas itu. Kenyataan ini memperkuat tuntutan terhadap batik akan penjelajahan yang sadar dan berencana di jaman sekarang.

 

Batik, San Penjelajah

            Bagaimanapun, penjelajahan itu, di jaman sekarang, tidak dapat berlangsung secara meraba-raba: sekarang, penjelajahan itu perlu sadar, berencana, kritis. Itu berarti, penjelajahan perlu berlangsung dengan sikap dan laku menelaah, menilai, dan mencari tindak lanjut.

Jika di masa sekarang, di satu pihak kita melihat orang berbondong-bondong berebut kain hasil suatu tempat atau daerah , sedang di lain pihak banyak kegiatan batik gulung-tikar, dan bergunung-gunung canting cap dijuali apakah itu bukan sebagai salah satu sebab, karena kejenuhan, karena orang mencari yang lain atau yang baru, karena tawaran tidak cukup kaya dan dinamis dalam jenis, guna, dan ragam?

 

6.2 Hasil Penelitian

6.2.1 Komik

(Bagian dari laporan penelitian I Wayan Nuriarta tentang Komik Naruto)

            Istilah komik berasal dari bahasa Inggris comic yang berarti cerita atau buku komik, yang bersifat gembira (Echols dan Shadily, 1990:129), cerita bergambar yang lucu (Wojowasito, 1985;75). McCloud (2001) dalam buku Understanding Comics yang unik, karena disusun dalam gaya penceritaan buku komik, gambar-gambar serta lambanglambang dan narasi disusun sebagaimana dalam sebuah format buku komik (McCloud, 2001;9)

Pada dasarnya, komik merupakan karya seni perpaduan antara seni rupa dengan karya sastra, yang di dalamnya terdapat bentuk-bentuk visual atau gabungan bentuk visual dengan keterangan verbal.

Manga

Secara umum manga diartikan sebagai komik made in Japan. Manga bukan lagi menjadi sesuatu hal yang asing bagi generasi muda dan anak-anak pencinta komik dan animasi. Manga sebagai bentuk kesenian visual dari Jepang tidak hanya memiliki kualitas gambar yang baik dan unik, namun juga sangat ditunjang dengan kekutan dan keragaman cerita yang menarik. Manga adalah istilah yang digunakan untuk menyebut komik Jepang. Kata manga digunakan pertama kali oleh seorang seniman bernama Hokusai Katsushika (1760-1849) dan berasal dari dua huruf Cina yaitu kata manga yang artinya gambar manusia untuk menceritakan sesuatu.

Ada delapan teknik bercerita manga, menurut McCloud dalam bukunya “Membuat Komik” ( 2008 : 215 ), yaitu:

1) Wajah

Wajah dan figur-figur digambarkan secara sederhana emotif yang memancing identifikasi pembaca. Penggambaran wajah dan figur dibuat secara sederhana tanpa detail. Misalnya hanya dengan garis dan blok hitam, tapi dengan mudah dapat mengenalinya sebagai wajah manusia, wajah laki-laki atau perempuan.

2) Kesan

Tempat yang Kuat Rincian lingkungan yang dipicu ingatan indrawi dan ketika dipertemukan dengan karakter ikonik akan memancing “efek masking” yang artinya dalam frame akan tampak gambar yang kurang menyatu karena terlihat perbedaan antara latar belakang dengan gambar tokoh. Latar belakang biasanya digambarkan dengan realis dan tokoh dalam kartun yang sangat sederhana.

3) Frame Bisu

Penggunaan panel bisu dipadukan dengan transisi aspek ke aspek mendorong pembaca menyusun keinginan untuk memperoleh informasi rupa dari setiap adegan.

4) Gerak Subjektif

Menggunakan latar yang kurang jelas atau mengganti latar dengan efek garis sehingga pembaca merasa bergerak bersama karakter dalam komik tersebut.

5) Kematangan Genre

Pemahaman cara bercerita yang unik mendorong terciptanya ratusan genre seperti fiksi ilmiah, fantasi, horor, komedí, detektif dan sebagainya.

 

6) Rancangan Karakter

Rancangan karakter yang sangat beragam, menampilkan tipe wajah dan tubuh yang berbeda serta asesoris yang dengan mudah dapat kita kenal. Misalnya dengan perbedaan warna rambut, sensata yang dibawa setiap tokoh, dan jenis pakaian yng digunakan.

7) Rincian Dunia Nyata

Dibuat sampai ke hal-hal yang kecil. Sebuah apresiasi untuk sebuah keindahan untuk hal yang remeh dan kaitannya dengan nilai-nilai pengalamann sehari-hari. Bahkan dalam cerita fantastis atau melodramatik.

8) Efek Ekspresif Emosional

Efek ekspresif emosional yang beragam seperti latar ekspresionistis, karikatur subjektif dan montase, semua menyediakan jendela bagi pembaca untuk melihat yang dirasakan karakter.

Di Indonesia sendiri, kehadiran manga di berbagai kios dan toko buku telah mendominasi komik-komik negara lain. Berdasarkan pengamatan umum , lebih dari 60 % komik yang dijual di toko buku adalah manga, sedangkan selebihnya adalah komik-komik Amerika, Indonesia , Korea, dan lainya.(http:// www. Komik.com, download 4 agustus 2008 )

Dalam sejarah manga, mungkin yang perlu dicatat adalah peranan Osamu Tezuka yang dikenal sebagai “God of Manga”. Tetsuwan Atom adalah manga karya Osamu Tezuka yang terkenal dan mendunia baik sebagai manga maupun anime. Perubahan drastis pada komik Jepang dimulai dengan penerbitan majalah Shonen Sunday dan Shonen Magazine untuk anak-anak pada tahun 1959. Masyarakat Jepang saat itu telah terbiasa dengan serial drama panjang yang diputar setiap minggu, dan kebiasaan baru ini diaplikasikan dalam format manga.

Jenis-jenis manga yaitu:

1. Shoujo Manga

Shoujo manga yaitu manga yang lebih diperuntukkan bagi anak perempuan. Jepang adalah negara pertama yang memelopori lahirnya komik khusus untuk kaum hawa dan satu-satunya di dunia yang perkembangan komik perempuannya sangat maju.

2. Shounen Manga

Shounen manga adalah manga yang lebih dikhususkan untuk pembaca laki-laki. Ceritanya berkisar pada hal-hal yang disukai laki-laki, seperti olahraga atau petualangan seru penuh aksi. Popularitas shounen manga berawal dengan terbitnya dua mingguan shounen pada tahun 1959, yaitu Weekly Shounen Magazine (penerbit Kodansha) dan Weekly Shounen Sunday (penerbit Shogakukan).

3. Doujinshi Manga

Doujinshi adalah manga, tetapi kisah-kisah doujinshi lebih banyak dibuat berdasarkan cerita manga yang sudah ada dan dibuat oleh penggemarnya. Jadi bisa dibilang, doujinshi adalah fanfic dalam bentuk komik. Orang yang membuat doujinshi disebut doujinshika.

 

TEKS VISUAL KOMIK NARUTO

Pelukisan Adegan

Naruto adalah manga karya Masashi Kishimoto. Bercerita seputar kehidupan tokoh utamanya, Naruto Uzumaki, seorang ninja remaja yang penuh semangat, hiperaktif, dan pantang menye-rah; dan petualangannya dalam mewujudkan keinginan untuk mendapatkan gelar Hokage, ninja terkuat di desanya. Naruto adalah manga yang paling terkenal dan naik daun di seluruh dunia. Sejak awal penerbitannya, Naruto telah memancing permunculan ribuan situs berisi informasi rinci, panduan, dan forum internet tentang manga ini. Beberapa situs terkenal muncul setelah versi Inggrisnya diterbitkan pada bulan Agustus 2003.

Cara Baca Komik Naruto

Pada cara membaca, ukuran frame memberikan jeda dan menentukan urutan membaca komik Naruto. Jika ada frame yang memiliki ukuran sama, maka frame dibaca berurutan baik yang terjadi secara vertikal maupun horisontal sebelum pindah ke frame dengan ukuran yang berbeda. Teknik membacanya tetap menggunakan pola dari kanan ke kiri dan dari atas ke bawah.

Meskipun cerita karya Masashi Kishimoto ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, namun cara membacanya masih tetap menunjukkan cara membaca tulisan Jepang yaitu dibaca dari arah kanan ke kiri dan dari arah atas ke bawah seperti teknik menulis dan membaca bahasa Jepang Hiragana atau Katakana. Hal ini dilakukan selain untuk memperlihatkan komik ini yang sedikit berbeda dari komik lain, juga bertujuan agar tidak terjadi gambar flipping atau disebut pembalikan gambar.

6.2.2 Seni Jalanan (Street Art)

(Sebagian laporan penelitian I Nyoman Mahayasa tentang Grafiti di Denpasar)

Seni jalanan atau biasa disebut juga street art kemudian muncul menjadi istilah yang dipakai untuk membedakan dengan karya seni yang dibuat dan ditempatkan dijalanan dengan meminta ijin kepada pihak yang berwenang. Seni jalanan merupakan perkembangan dari grafiti yang biasa di buat dengan cat semprot (aerosol) kemudian berkembang menggunakan berbagai teknik pembuatan misalnya: stensil, stiker, tempelan kertas/ whet pasting, poster atau campuran dari berbagai bentuk seni.

Penempatanya dilakukan tanpa ijin dari pihak berwenang dan dilakukan dengan sengaja (misalnya: gerbong kereta, pos polisi, papan reklame dan lain-lain) terkadang memicu timbulnya perkara. Perkara inilah yang sering pelaku seni jalanan dianggap sebagai pelaku vandalisme.

GRAFITI

            Grafiti Menurut kamus Oxford Advanced learner’s Dictionary (A S Hornby, 2000:559).“ Graffiti is drawing or writing on a wall or in public place that they are usuaaly rude, humorous or political”. Dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa seni grafiti merupakan kegiatan menulis atau menggambar pada tembok atau media lainnya di tempat umum yang biasanya kasar, lucu atau mengandung unsur politik. Alat yang digunakan biasanya cat semprot kaleng.

Grafiti berasal dari bahasa Italia “graffito-grafity” (bentuk plural/jamak) yang di dedefinisikan sebagai coretan atau gambar yang digoreskan pada dinding atau permukaan apa saja. Dalam dunia seni rupa, istilah ini diambil dari kata “graffito” yang merupakan nama tehnik menggores pada keramik sebelum dibakar dan membuat disain pada suatu permukaan dengan benda tajam atau kapur (biasanya digunakan saat membuat mural atau fresco). Selain itu, graffito juga dianggap berkaitan dengan grafhein (Yunani) yang berarti menulis. (Syamsul Barry, 2008:31)

SEJARAH GRAFITI

Grafiti di Pompeii di atas mengandung tulisan rakyat yang menggunakan bahasa Latin Rakyat dan bukan bahasa Latin Klasik. Kebiasaan melukis di dinding bermula dari manusia primitif sebagai cara mengkomunikasikan perburuan. Pada masa ini, grafitty digunakan sebagai sarana mistisme dan spiritual untuk membangkitkan semangat berburu.

Di indonesia, menurut Soedarso seperti yang dikutip Syamsul Barry (2008:31), goresan gambar yang tertua ditemukan di dinding gua Pattae Kere, yang terletak di daerah Maros, sulawesi selatan( kebudayaan Toala, Mesolitikum, c.4000 tahun yang lalu). Gambar pada gua itu sangat berbeda dari gambar hiasan dinding buatan jaman purba yang biasanya bertujuan untuk memperindah tempat tinggal manusia yang mendiaminya .

Dinding memang menjadi satu media utama bagi para bomber. Permukaan yang luas dan datar menjadi salah satu alasanya. Aktifitas menulis di dinding sudah menjadi satu budaya sejak jaman primitive. Digunakan sebagai sarana komunikasi, bahkan juga digunakan untuk menggambarkan mistisme dan spiritual manusia pada massa itu.

Namun dibalik kesederhanaan dari grafiti pada masa itu, baik materi dan medianya, bahkan juga tujuanya. Tetapi telah menyumbangkan satu bentuk catatan sejarah yang menggambarkan kondisi dan perilaku sosial pada masa itu. Mewariskan satu bentuk ekspresi seni, ternyata juga ditinggalkan oleh grafiti-grafiti, yang kemudian sampai sekarang ini hal tersebut masih dilakukan.

Perkembangan zaman dan perubahan tatanan masyarakat ternyata memberi dampak yang cukup besar bagi perkembangan seni grafiti. Yang awalnya hanya sebagai satu media komunikasi, lambat laun berkembang menjadi satu media perlawanan dan protes. Mulai terpisahkannya masyarakat dalam bentuk kelas-kelas, dan membuat satu kelas tertentu merugikan kelas yang lain.

Arang dan kapur sebagai material dalam melakukan grafiti telah berganti menjadi cat, dan sampai saat ini telah berubah mencadi cat semprot tak membuat dinding di tinggalkan sebagai media dari material tersebut. Dengan beralih fungsinya grafiti yang tidak sekedar sebagai alat komunikasi tetapi juga telah menjadi alat perlawanan, maka dinding tetap menjadi media utamanya.

PERKEMBANGAN GRAFITI

Pada perkembangannya, grafiti di sekitar tahun 70-an di Amerika dan Eropa akhirnya merambah ke wilayah urban sebagai jati diri kelompok yang menjamur di perkotaan. Karena citranya yang kurang bagus, grafiti telanjur menjadi momok bagi keamanan kota.

Di Amerika Serikat sendiri, setiap negara bagian sudah memiliki peraturan sendiri untuk meredam grafiti. San Diego, California, New York telah memiliki undang-undang yang menetapkan bahwa grafiti adalah kegiatan ilegal. Untuk mengidentifikasi pola pembuatannya, grafiti pun dibagi menjadi dua jenis.

- Gang graffiti

Yaitu grafiti yang berfungsi sebagai identifikasi daerah kekuasaan lewat tulisan nama gang, gang gabungan, para anggota gang, atau tulisan tentang apa yang terjadi di dalam gang itu.

- Tagging graffiti

Yaitu jenis grafiti yang sering dipakai untuk ketenaran seseorang atau kelompok. Semakin banyak grafiti jenis ini bertebaran, maka makin terkenallah nama pembuatnya. Karena itu grafiti jenis ini memerlukan tagging atau tanda tangan dari pembuat atau bomber-nya. Semacam tanggung jawab karya. (http://id.wikipedia.org/ wiki/Grafiti, diakses 14 April 2007).

Grafiti juga memiliki reputasi yang cukup buruk di mata pemerintah hampir di seluruh negara, karena grafiti dituduh sebagai media yang paling frontal untuk menghujat atau pun mengkritik secara keras sebuah pemerintahan di sebuah negara. Grafiti sekarang mulai memasuki masa keemasannya, selain di Indonesia sendiri, di Ameri-ka atau tepatnya di Brooklyn Museum sering diadakan pameran grafiti yang kini disebut juga sebagai seni kontemporer.

 

GRAFITI PADA ZAMAN MODERN

            Adanya kelas-kelas sosial yang terpisah terlalu jauh menimbulkan kesulitan bagi masyarakat golongan tertentu untuk mengekspresikan kegiatan seninya. Akibatnya beberapa individu menggunakan sarana yang hampir tersedia di seluruh kota, yaitu dinding.

Pendidikan kesenian yang kurang menyebabkan objek yang sering muncul di grafiti berupa tulisan-tulisan atau sandi yang hanya dipahami golongan tertentu. Biasanya karya ini menunjukkan ketidak puasan terhadap keadaan sosial yang mereka alami. Meskipun grafiti pada umumnya bersifat merusak dan menyebabkan tingginya biaya pemeliharaan kebersihan kota, namun grafiti tetap merupakan ekspresi seni yang harus dihargai. Ada banyak sekali seniman terkenal yang mengawali karirnya dari kegiatan grafiti.

Grafiti memiliki keindahan tersendiri, karena ia hadir dari seni, kebanyakan pelukis grafitti akan mencurahkan isi hati mereka lewat simbol-simbol, kata-kata, bahkan terkesan komikus.

Bila dipahami dan diberi kesempatan untuk berkarya dalam wadah yang terencana, para pelukis grafitti dapat menyalurkan kreativitas mereka dalam memberi nuansa kota yang rekreatif, karena apa yang mereka kerjakan memberikan nuansa seni bagi kota.

Antara Seni, Perlawanan dan Vandalisme

Seni adalah satu bentuk ekspresi kreatif manusia. Seni juga sangat sulit diartikan atau dinilai. Setiap individu, baik sang seniman ataupun penikmat seni itu sendiri, bisa membuat satu parameter untuk menentukan nilai dan artian dari sebuah karya seni. Ini menunjukan bahwa kebebasan adalah tuhan dari seni itu sendiri (www.prp-indonesia.org - Grafiti Action, diakses 14 April 2007).

Seni dapat diekspresikan dalam berbagai bentuk. Corat-coret di tempat umum yang hanya sekedar untuk menunjukan satu identitas saja adalah bentuk seni juga. Sedikit berbeda bentuk dari coretan cat semprot yang dihasilkan oleh pelaku grafiti yang bermotifasi untuk memperkenalkan identitas pribadi atau golonganya, dengan pelaku yang melakukan grafiti sebagai media propaganda atau kritik atas satu kondisi sosial yang ada.

Dan grafiti yang merupakan satu dari sekian banyak farian dalam bidang seni. Namun din-ding dan tempat umum yang digunakan sebagai media seni dari grafiti, membuat banyak orang tidak menganggap itu sebagai seni, melainkan melihat grafiti sebagai sebuah perilaku yang merusak sarana dan kepentingan publik.

Vandalisme, adalah satu stigma yang sering diungkapakan orang terhadap pelaku grafiti maupun grafiti itu sendiri. Pada hakekatnya, vandalisme sendiri merujuk pada perusakan atas barang milik orang lain termasuk juga barang yang diperuntukan untuk kepentingan publik.

Tidak sedikit memang orang yang masih menganggap grafiti sebagai sebuah perilaku vandalisme, hanya karena media yang digunakan adalah sarana publik. Namun juga banyak orang yang melihat grafiti merupakan sebuah bentuk ekspresi seni, yang jauh lebih baik ketimbang dinding-dinding dipenuhi dengan pesan-pesan komersial.

Grafiti Action Sebagai Sebuah Komoditi

Tak bisa dipungkiri, bahwa grafiti action telah menjadi satu fenomena tersendiri di masyarakat. Khusunya bagi anak muda yang umumnya menjadi pelaku grafiti. “Pasar” memang mempunyai mata dimana-mana. Dimana dia melihat fenomena dan besarnya antusias akan sesuatu hal, maka dia akan menjadikan hal itu sebagai komoditi untuk mendapatkan keuntungan baginya. Contoh sederhanya adalah game play station yang bertemakan grafiti action, walaupun mungkin tidak terlalu laku dipasaran. Namun “pasar” telah memperlakukan grafiti sebagai sebuah komoditi.

Karena kondisi seperti ini mempunyai dua sisi yang berbeda bagi grafiti. Grafiti akan menjadi sangat banyak peminat atau pelakunya, namun disisi lain grafiti seolah-olah telah menjadi barang dagangan. Untuk yang kedua, tentunya sangat buruk dampaknya bagi grafiti.

Aliran Graffiti

Dalam seni grafiti, terdapat beberapa aliran-aliran yang sering digunakan oleh para bomber dalam membuat grafiti di tembok-tembok jalanan ibu kota. Berikut ini adalah sedikit penjelasan dari aliran-aliran grafitti :

Bubble, yaitu gaya pola yang umum dipakai writer atau bomber untuk melakukan throw up (menggrafiti dengan cepat).

Wildstyle atau semi wildstyle, yaitu gaya yang sejenis dan biasa dipakai serta populer bagi para writer. Ciri gaya pola ini adalah menggunakan ornamen seperti tanda panah, bintang, dll.

3D, yaitu gaya pola yang mengesankan kesan 3 dimensi.

Tagging. Adalah gaya/pola yang umum dilakukan oleh para bomber di mana hasilnya nampak seperti tanda tangan. Hanya sekadar tulisan. Ini yang kemudian disebut sebagai corat-coret.

Fungsi Grafiti

Dari berbagai macam jenis grafiti yang ada, fungsi grafiti pada zaman modern mengalami perkembangan fungsi. Adapun beberapa fungsi dari Grafiti. (http://www.freemagz .com, diakses 14 April 2007).

1. Bahasa rahasia kelompok tertentu.

Grafiti mengalami satu perkembangan dalam tujuanya. Untuk menunjukan satu identitas pribadi, seperti yang dilakukan oleh seorang Amerika yang bernama Taki. Yang selalu menuliskan namanya, entah itu didalam kereta atau di dinding bis kota, yang kemudian membuat Taki menjadi terkenal. Hal tersebut kemudian diikuti oleh banyak anak muda disana, yang seperti terinspirasi oleh Taki, karena hanya dengan melakukan coretan nama ditempat-tempat umum, maka dengan mudah dapat menjadi terkenal.

2. Sarana ekspresi

Seiring perkembangan jaman perubahan gaya hiduf (life style). Adanya kelas-kelas sosial yang terpisah terlalu jauh menimbulkan kesulitan bagi masyarakat golongan tertentu untuk mengekspresikan kegiatan seninya.

3. Sarana pemberontakan.

Grafiti sebagai media propaganda atau kritik atas satu kondisi sosial yang ada. Umumnya pelaku grafiti yang menjadikan grafiti sebagai media perlawanan dan penyadaran, dalam grafitinya selalu meninggalkan pesan-pesan pagi orang yang melihatnya. Sehingga hasil dari coretan tersebut pun, bukan sekedar kata-kata atau tulisan.

Komunitas Grafiti Di Kota Denpasar

Sekelompok remaja dengan mengenakan sweater dan masker sambil menenteng cat semprot di tangan dan mulai berjalan menelusuri jalan-jalan dengan membawa satu tas penuh berisikan cat semprot kaleng. Rata-rata anggota bomber adalah pemuda berusia 18-23 tahun. Penampilan mereka terkesan semaunya, tidak terikat aturan dan bebas berekspresi. Salah satu bomber yang menamakan kelompoknya “Terror” beranggotakan: Cory, R-jack, Buble B, dan DD. Mereka tengah berkumpul di sebuah warung di kawasan pusat pertokoan di areal jalan Diponogoro. Soal identitas, para bomber (pembuat grafiti) ini memang sengaja ditutup.

Sebelum tahun 2007, di saat tembok-tembok masih banyak yang kosong, masing-masing anggota bomber meluapkan ekspresi mereka. Dengan melakukan tagging (grafiti tulisan identitas) atau vandalisme (perusakan properti tanpa seijin pemiliknya) tulisan dan gambar, mereka memberikan warna pada tembok-tembok. Alat yang digunakan biasanya cat semprot kaleng (pylox).

Komunitas grafiti lain diantaranya abilty, flame kidz, U-zack, Socbeker, M2crew, Hollygan, TRN, 5 Cru, Cyber, ABILITY, TRN, WBA, PEGOK, DOZ, 153, WEBER, Racy, #2Bomb, Criz, Buble, popeye dan banyak lagi bomber yang meramaikan pembuatan grafiti. Mereka terbentuk setelah beberapa perkumpulan kecil para pembuat grafiti di Denpasar, karya-karya mereka kebanyakan hanya berupa tagging (tag/inisial atau singkatan nama) yang tersebar di beberapa sudut tembok yang ada di kota Denpasar.

Begitu banyaknya kelompok-kelompok bomber yang melakukan aksinya di berbagai tempat membuat terjadinya persaingan antar kelompok bomber di Denpasar. Ini bisa dilihat dari grafiti yang bertumpukan untuk menunjukun identitas komunitas mereka.

Penelitian yang berjudul “Keberadaan Grafiti di Kota Denpasar” ini dilakukan di sejumlah jalan-jalan di kota Denpasar. Antara lain, Jalan Diponogoro, Jalan Sudirman, Jalan Dewi Sartika, jalan Hayam Wuruk WR Supratman, jln Teuku Umar, dan tempattempat yang menjadi sasaran para bomber. Para narasumber adalah pelaku grafiti itu sendiri. Kriterianya antara lain telah membuat karya grafiti di beberapa tempat, minimal telah 1 tahun aktif berkarya, grafiti yang dihasilkan berjenis grafiti artistik, dan sering berkarya bersama-sama dengan kelompok grafiti lain.

Motivasi Membuat Graffiti

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada para bomber pada tanggal 14 Januari 2008, diketahui bahwa motivasi untuk membuat grafiti tidak lain adalah untuk memperindah kota di samping faktor sekedar menunjukkan dirinya melalui grafiti.

Di sisi lain, mereka tidak menampik pendapat bahwa ada sisi vandalisme yang dilakukan oleh bomber lain. Dan sebagian bomber mengakui bahwa ada yang menyebutkan bahwa membuat grafiti memang harus bersifat vandalis.

Awal mulanya perlawanan secara vandalis melalui grafiti memang dilakukan oleh anak muda di Amerika Serikat dan Inggris dan kemudian berkembang ke negara-negara lain termasuk Indonesia. Namun secara konteks kelokalan, vandalis yang dilakukan oleh bomber di Amerika Serikat dan Inggris tersebut tidak lepas dari kebuntuan mereka tidak menikmati kembali ruang publik di samping secara politis dilakukan oleh anak muda yang anti mall, anti kemapanan dan anti pemerintah.

Grafiti merupakan salah satu dari sekian banyak bagian dalam bidang seni. Namun dinding dan tempat umum yang digunakan sebagai media seni dari grafiti, membuat banyak orang tidak menganggap itu sebagai seni, melainkan melihat grafiti sebagai sebuah perilaku yang merusak sarana dan kepentingan public.

Memang tidak bisa kita jadikan pembenaran, bahwa kebebasan berekspresi bisa disampaikan dengan media apa saja temasuk dinding dan sarana publik sebagai medianya. Namun untuk mendapatkan sarana melampiaskan ekspresinya, seniman harus benyak mengeluarkan uang untuk berekspresi, ternyata tidak mampu dilakukan oleh para bomber.

Kehadiran grafiti di Denpasar memiliki kontroversial. Masyarakat menilainya dari dua sisi, semakin memperindah kota atau semakin memperburuk kota. Perkembangannya kini apakah Grafiti yang sudah meng-arah pada bentuknya yang artistik (tidak sekedar corat-coret) mampu memberikan keseimbangan lingkungan secara visual maupun perannya dalam berhubungan dengan budaya maupun masyarakat sosial setempat.

Dalam melakukan karya grafiti, para bomber mencari tembok-tembok yang tidak terawat untuk digunakan sebagai media. Tembok tak terawat yang dimaksud adalah tembok yang dibiarkan kumuh, tembok yang dulu putih bersih namun sekarang ada lumut hingga kecoklatan, dan tembok yang dibiarkan rusak, dan tembok milik umum yang tidak dirawat oleh instansinya

Bentuk ‘pengambil alihan’ tembok yang tak terawat tersebut menjadi bentuk kepedulian mengenai bangunan di jalan-jalan strategis yang tidak merawatnya dengan baik, sehingga menimbulkan kesan kotor dari setiap pengendara kendaraan yang melintasinya. Tembok tak terawat didefinisikan mereka, sebagai berikut:

1) Tembok yang dibiarkan kumuh, sehingga poster dan pamflet iklan sangat mudah menempelkannya. Tembok semacam ini akan segera ditimpa oleh grafiti.

2) Tembok yang dahulunya putih bersih, namun lama kelamaan memudar, bahkan warnanya cenderung kecoklatan dan kehitaman atau kehijauan karena lumut.

3) Tembok yang dibiarkan rusak. Biasanya tembok ini dibiarkan beberapa bagiannya telah rusak dan oleh pemiliknya langsung ditindas dengan warna putih.

4) Tembok di ruang publik dan milik umum, namun tidak dirawat keberadaannya. Lokasinya yang memungkinkan publik melihat karena berada di tempat strategis menjadikan titik ini tidak berkesan indah karena tidak dirawat oleh instansi terkait. Biasanya berupa tembok di areal pertokoan, gang, dan bangunan-bangunan tak terawat.

Selain tembok yang tak terawat tersebut, kaum bomber juga mengarahkan sasarannya pada tembok yang terawat. Tembok yang dicat putih pun menjadi sasaran mereka. Berikut ini tembok terawat yang menjadi incaran mereka:

1) Tembok milik publik. Meskipun dirawat, namun kejengahan kaum bomber yang tidak bisa melihat tembok dicat putih dijadikan sasaran empuk olehnya. Menurut mereka tembok publik yang dicat putih bersih tidak mencerminkan keindahan, namun kebosanan dan membuat silau pada mata, apalagi kalau terik matahari di siang hari begitu menyengat. Inilah yang ditentang oleh mereka.

2) Tembok milik pribadi. Beberapa kawasan yang dijadikan sasaran biasanya adalah perumahan. Masih dengan alasan mereka, bahwa warna putih sangat membosankan dan menyilaukan mata, mereka juga berpendapat bahwa kebersihan bukanlah keindahan namun kemapanan. Grafiti artistik di daerah ini menjadi ‘buruk rupa’ karena secara teknis belum semaksimal karya grafiti seperti halnya di Jakarta dan Jogjakarta, sehingga penghuni rumah di kawasan perumahan yang umumnya mempunyai nilai rasa terhadap artistik visual tinggi belum menilai positif grafiti artistik tersebut.


 

PUSTAKA RUJUKAN

 

Mahayasa, I Nyoman. 2009. Grafiti Kota Denpasar. Skripsi pada Jurusan Pendidikan

 Seni Rupa, FBS UNDIKSHA

Myers, Bernard S. 1958. Understanding the Arts. New York: Holt, Rinehart and

 Winston

Nuriarta, I Wayan. 2009. Analisis Bahasa Visual Komik Naruto. Skripsi pada Jurusan

 Pendidikan Seni Rupa, FBS-UNDIKSHA

Read, Herbert. 1958. Education through Art. New York: Pantheon Book Inc.

Rowland, Kurt. 1973. A History of the Modern Movement: Art, Architecture, Design.

 New York: Van Nostrand Reinhold Book

Sakri, Adjat. 1993. Seni Rupa dalam Dunia Modern. Bandung: Penerbitan ITB

Sujoko. 1992. “Mengulas Seni Nusantara”. Makalah disampaikan dalam Dialog

 Kesenirupaan Indonesia, Eksistensi Seni Rupa dalam Perkembangan Ekonomi di

 Gedung Pameran Seni Rupa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta

Sylvester, David (Ed.). 1993. The Book of Art. Vol. 8: Modern Art. London: Grolier

Yuliman, Sanento. 1990. “Batik, Sang Penjelajah”. Pokok pikiran disampaikan dalam

 Sarasehan Batik, 9 September 1990, di Dalem Ageng Ambarrukmo Palace Hotel,

 Yogyakarta

Comments

Popular posts from this blog

Ramanus Netje-SejarahSeniKriyaDanDesain-LatihanTugas1

TUGAS LATIHAN 2 INFOGRAFIS