Ramanus Netje - Sejarah, Seni, Kriya dan Desain Latihan Tugas 2 - Resume Perkembangan Konsep Kriya
PERKEMBANGAN
KONSEP KRIYA
B. Muria Zuhdi
A.
Pendahuluan
Seni
kriya merupakan satu cabang atau ranting seni yang sedang mengalami
transformasi - baik bentuk maupun fungsinya sehingga sering menjadi percakapan
atau diskusi panjang, berkenaan dengan status dan kedudukannya dalam
pekembangan seni rupa di Indonesia (Soedarso Sp., 1990: 1). Inovasi dalam kriya
sedang terus berjalan, hal ini terutama dilakukan oleh kriyawankriyawan muda
atau calon-calon kriyawan yang punya gairah dalam menggali dan mengembangkan
kriya yang memiliki potensi dalam banyak bidang garapan.
B.
Perbedaan antara Kriya dan Kerajinan Masa
Lampau
Masyarakat
Jawa dalam sejarahnya memiliki dualisme budaya. Dualisme yang dimaksud
adalah:
1. Budaya
Agung dalam tradisi besar berkembang dalam lingkungan tembok kraton, di
kalangan bangsawan atau golongan elit masyarakat feodal agraris.
2. Budaya Alit dalam tradisi kecil berkembang di
luar tembok kraton, di kalangan masyarakat pedesaan atau kawula alit
Keterbelahan
itu bukan berarti pertentangan, melainkan berupa pola keselarasan dan
keseimbangan yang menjadi keharusan antara yang memimpin dan yang dipimpin,
sebagai suatu kewajaran dalam budaya Jawa seperti yang tersirat dalam konsep
hubungan kawula gusti dan kawula alit (Kuntowijoyo, 1987: 68-72).
Dari
dalam tembok kraton dikenal istilah kriya. Praktik kriya ditujukan untuk
produksi artefak fungsional, serimonial, dan spiritual, menjujung nilai-nilai
simbolis kedudukan istana yang menjadi pusat pemerintahan tanah Jawa. Adapun
produksi artefak pada masyarakat kecil di luar lingkungan tembok keraton oleh
Gustami Sp. (1991: 99-100) disebut sebagai kerajinan, seperti pembuat cangkul,
golok, cobek, besek dan lain-lain, yang dalam pembuatannya lebih mementingkan
segi kegunaan atau kepraktisan saja. Dari kedua hal yang dikemukakan ini,
kiranya dapat dijadikan pembanding, bahwa ada perbedaan antara kriya dengan
kerajinan.
Istilah
kerajinan lahir dan terangkat ke permukaan sebenarnya ditandai dengan adanya
perubahan yang terjadi pada zaman penjajahan Belanda, yaitu sejak bergesernya
nilai-nilai kehidupan masyarakat dan pergeseran nilai budaya bangsa yang
menyeret keberadaan kriya menjadi bagian dari kegiatan ekonomi, sehingga
keberadaan kriya dikesampingkan dari kepentingan adat dan kepercayaan.
Perkataan
“perusahaan seni” dalam bahasa Belanda kunstnijverheid. Sangat boleh jadi,
kunstnijverheid inilah asal mula istilah kerajinan, masalahnya lawan kemalasan
itu kebetulan saja ijver (hampir seperti nijver!) alias kerajinan. Jadi,
kesibukan yang namanya nijverheid itu dianggap kerajinan saja. Dan, barang
hasil kegiatan ini adalah kerajinan (Sudjoko, 1991: 5).
Melalui
keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa munculnya istilah kerajinan
berhubungan dengn kegiatan produksi dan/atau reproduksi benda benda seni yang
kegiatannya itu berlandaskan kepentingan ekonomi-komersial.
C.
Latar Belakang Munculnya Kembali Istilah
Kriya
Istilah kriya yang dimunculkan kembali oleh STSRI ”ASRI” (sekarang ISI)
Yogyakarta, dimaksudkan untuk mewadahi derasnya kreasi dan inovasi dalam
berkarya seni; di samping usahausaha. yang bertujuan untuk melestarikan warisan
seni budaya (seni kriya) masa lampau.
Soedarso Sp. (1990: 2) mengatakan: Pada waktu Jurusan Seni Kriya lahir
di ASRI Yogyakarta pada tahun 1950, istilah tersebut belum digunakan dan
Jurusan ini diberi nama Bagian Seni Pertukangan. Pernah pula Seni Kerajinan
dipakai untuk menamai jurusan ini, tetapi karena baik Seni Pertukangan maupun
Seni Kerajinan dianggap tidak mewakili dan mempunyai konotasi yang menyesatkan
maka jurusan tersebut diberi nama Seni Kriya. Perkembangan terakhir, Jurusan
Seni Kriya (yang dalam waktu relatif singkat sempat berubah nama menjadi Disain
Kriya) diubah namanya menjadi Jurusan Kriya (tanpa kata seni), setelah STSRI
"ASRI", AMI, dan ASTI Yogyakarta bergabung menjadi satu, ISI
Yogyakarta.
D.
Perkembangan Kriya
Modernisasi dengan dampak logisnya memberikan perubahan pola dan
perilaku yang sudah lama kukuh pada tradisi yang mapan. Perubahan nilai-nilai
ini pada akhimya ikut pula menentukan arah perkembangan kesenian khususnya
kriya.
A.
Pelestarian Seni Kriya
Pelestarian yaitu mempertahankan keberadaan seni
kriya masa lampau dalam bentuk teoritis maupun praktis, dengan cara menyerap
pengetahuan seni kriya yang tersebar di berbagai daerah, melalui studi pustaka
dan/atau studi lapangan ke daerah yang menjadi sumber kajian, sedangkan dalam
bentuk praktisnya biasa dilakukan dalam bentuk praktik dasar guna penguasaan
teknik pembuatan karya-karya seni kriya masa lampau.
B.
Pengembangan Seni Kriya
Pengembangan ini memiliki dua mata arah yang berbeda
yaitu: pengembangan dalam bentuk penciptaan benda-benda fungsional (baik
fungsional praktis maupun fungsional nonpraktis) dan pengembangan berupa
penciptaan karya-karya kriya-ekspresi.
a. Pengembangan Seni Kriya dalam Penciptaan Benda-benda Fungsional
Penciptaan benda-benda fungsional praktis bertujuan menciptakan
karya-karya fungsional yang memiliki bobot seni yang menyatu pada karya yang
dihasilkan.
b. Pengembangan Seni Kriya dalam Penciptaan Karya-karya kriya-ekspresi
Pengembangan dalam bidang ini memiliki keleluasaan atau kebebasan
sejalan dengan kemampuan yang kreatif inovatif dan kekuatan atau kedalaman
ekspresi dari masing-masing (calon) kriyawan.
3. Pengembangan Kerajinan ( Kriya)
Di masa lalu (pada masa penjajahan Belanda), kegiatan
seni yang berorientasi pada kepentingan ekonomi banyak melakukan reproduksi
benda-benda seni kriya (lampau). Oleh karena itu, kegiatan itu tidak lebih
merupakan kegiatan imitatif. Akan tetapi, tidak tertutup kemungkinan dalam
kegiatan reproduksi itu dilakukan juga usaha-usaha memodifikasi atau kombinasi
dalam produknya.
Di masa pembangunan sekarang kerajinan dipandang memiliki potensi
ekonomi dalam perdagangan internasional dan dunia pariwisata. Oleh karena itu,
kegiatan kerajinan ini digalakkan dan diharapkan mampu meningkatkan devisa
negara, sekaligus dapat memperluas lapangan kerja dan dapat meningkatkan
pendapatan serta kesejahteraan pengrajinnya.
E.
Konsep Kriya pada Saat Ini
Sesungguhnya kriiya berada dan mencakup kedua disiplin ilmu seni, dan
desain, sehingga memungkinkan muncul dua istilah seperti: kriya seni dan kriya
disain, atau seni kriya dan disain kriya. Pada kenyataannya kriya memiliki
fleksibilitas yang tinggi; berada pada posisi di antara wilayah seni dan
disain: Kondisi ini menyadarkan kita bahwa seharusnya tidak ada definisi yang
kaku dalam pengelompokan kriya, karena hal itu tergantung di wilayah mana
secara esensial kriya itu sendiri beraktivitas (Nugroho, 1999: 5).
Kriya masa kini melahirkan karya-karya seni yang dapat digolongkan ke
dalam dua kategori, yaitu karya-karya seni fungsional tergolong dalam seni
terapan dan karya-karya seni kriya yang pembuatannya lepas dari segi fungsi
tergolong dalam kategori seni murni. Akan tetapi, keduaduanya bertolak dari
landasan yang sama yaitu pemanfatan unsur-unsur tradisi dalam penciptaan
karya-karyanya. Kekriyaan masa kini yang berorientasi pada prestasi
kesenimanan, dalam bentuk karya fungsional telah banyak dibuktikan dengan
hadirnya karya-karya yang kreatif inovatif dan khas dari masing-masing pribadi
penciptanya.
Istilah kriya sendiri adalah istilah yang lebar dan umum. Istilah itu
merupakan induk besar dari kegiatan kekriyaan. Dari induk kriya ini kemudian
muncul istilah turunan yaitu: kriya seni, kriya ekspresi, kriya disain, kriya
produk, dan kriya kontemporer. Adapun pelaku kriya biasa disebut kriyawan,
ekriya, seniman kriya, dan sebagainya.
F.
Wacana Kriya dan Craft
Kriya sering diterjemahkan sebagai craft atau handcraft. Padahal kriya
memiliki arti lebih daripada sekedar craft yang berarti kerajinan (tangan).
Meskipun memiliki kesamaan, namun “kriya” memiliki dimensi lain yang dikaitkan
dengan karya seni adiluhung. Kriya masa kini dapat dikatakan sebagai usaha
sambungan dari seni-seni tradisi yang dalam aktualisasinya harus menyesuaikan
diri dengan konstelasi zaman. Oleh karena itu, kriya kita tidak semena-mena
dapat sama sebangun pemaknaannya apabila diidentikkan dengan peristilahan craft
yang bernuansa produksi massa dan konsumsi massa yang selama ini diyakini orang
(Sunarya, 1999: 1).
Pada perkembangan mutakhir lingkup craft di Barat pada akhirnya juga
masuk ke dalam arena (modern) art, banyak lembaga pendidikan di Barat sekarang
ini enggan mempertahankan dikotomi art dan craft. Hal ini terutama terjadi di
Australia tempat paling panas bagi perdebatan antara craft dan art (Asmujo,
2000: 264). Hanya saja penyelesaian yang dilakukan cenderung diambil mudahnya
saja, yaitu: beberapa lembaga pendidikan menghilangkan sebutan jurusan craft
dan menempatkan pendidikan yang sebelumnya dikenal sebagai craft di
bawah bagian visual art.
Kriya di Indonesia keberadaanya harus diakui sebagai salah satu pilar
yang menyangga kehidupan kesenian yang mampu menberikan kemaslahatan banyak
umat dalam banyak segi, di antaranya yaitu kriya dapat dipandang dalam kerangka
kepentingan ekonomi dan budaya. Dari segi ekonomi keberadaan kriya tak
terbantah telah banyak menghidupi beribu-ribu atau bahkan berjuta jiwa dalam
aktivitasnya yang diwadahi oleh kerajinankriya atau “industri” kerajinan-kriya.
Dalam segi budaya, kriya merupakan seni yang paling kaya dan subur yang dapat
dimanfaatkan dan dikelola untuk kepentingan-kepentingan ekspresi individual
maupun kolektif yang dapat mencerminkan identitas seni rupa Indonsia. Oleh
karena itu, kriya Indonesia harus dibiarkan saja tumbuh dan berkembang dengan
melakukan penyesuaianpenyesuain atas irama zaman dan menemukan hak hidupnya
sebagai “seni yang merdeka”.
G.
Penutup
Kriya dalam konteks masa lampau dimaknai sebagai suatu karya seni yang
unik dan karakteristik yang di dalamnya terkandung muatan nilai estetik,
simbolik, filosofis, dan fungsional serta ngrawit dalam pembuatannya. Adapun
kriya dalam konteks masa kini memiliki pengertian yang berbeda yakni; suatu
cabang seni yang aktivitasnya; (1) dapat menghasilkan produk fungsional dengan
craftmansif yang tinggi untuk kepentingan ekonomi-komersial, dan (2) dapat pula
menghasilkan karya-karya seni yang merupakan ekspresi individual untuk
kepentingan prestise kesenimanan.
Pada kenyataanya kriya merupakan istilah yang lebar dan umum yang
memiliki banyak istilah turunan yakni: Kriya Seni, Kriya-ekspresi, Disain
Kriya, Kriya Disain, Kriya Produk, dan Kriya Kontemporer. Istilah-istilah
tersebut pada hakikatnya dapat dikelompokan kedalam dua kategori yaitu kriya
desain dan kriya seni. Perbedaan mendasar dari kedua kategori ini terletak pada
motivasi dalam penciptaan karyanya. Hal ini dapat dijelaskan bahwa aktivitas
kriya disain selalu berurusan dengan persoalan penciptaan benda-benda
fungsional untuk kepentingan ekonomikomersial sedang kriya seni aktivitasnya
berurusan dengan penciptaan karya-karya seni (“murni”) untuk kepentingan
ekspresi.
Istilah kerajinan maupun seni kerajinan sebaiknya tidak digunakan lagi
untuk menamai suatu benda atau aktivitas produksi benda-benda kriya, karena
istilah kerajinan tidak memadai/mewakili untuk penamaan kegiatan produksi
benda-benda kriya. Demikian pula, halnya dengan istilah seni kerajinan.
Penambahan kata seni di depan kata kerajinan tidak menyebabkan bentukan istilah
ini menjadi “benar”, malahan sebaliknya menjadi aneh atau janggal. Hal ini
dapat dirunut dari bentukkan istilah kerajinan itu sendiri, yaitu berawal dari
kata rajin yang diberi awalan ke dan akhiran an yang artinya lawan dari
kemalasan.
DAFTAR PUSTAKA
Zuhdi, B. M. (2003). Perkembangan Konsep Kriya. Jurnal Seni dan Pendidikan Seni, 1(1).
Asmujo. 2000 “Dilema
Pendidikan Kriya” dalam Refleksi Seni Rupa Indonesia: Dulu, Kini
dan
Esok. Penyunting Baranul Anas dkk. Jakarta: Balai Pustaka.
Gustami Sp.
1991. “Seni Kriya Indonesia Dilema Pembinaan dan Pengembangan", dalam
SENI:
Jurnal Pengetahuan dan Pencitaan Seni. 1/03 - Oktober 1991, B.P ISI
Yogyakarta.
1992.
"Filosofi Seni Kriya Tradisional Indonesia", dalam SENI: Jurnal
Pengetahuan dan
Pencitaan
Seni. II/O 1 - Januari 1992, B.P ISI Yogyakarta
Kuntowijoyo.
1987. Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.
Nugroho, Adhi.
1999. "Kriya Indonesia, Sebuah Wilayah Sumber Ispirasi yang Tak
Terbatas"
dalam
Konperensi Kriya "Tahun Kriya dan Rekayasa 1999". Institut
Teknologi Bandung, 26 November 1999.
Soedarso Sp.
1990. "Pendidikan Seni Kriya" dalam seminar Kriya 1990, oleh Institut
Seni
Indonesia
Yogyakarta, 28-29 Mei 1990 di Hotel Ambarukmo Yogyakarta.
Hastanto, Sri.
"Pengatar Direktur Nilai Estetika" dalam Katalog Pameran Kriya
Seni 2000. di
Galeri
Nasional Indonesia Jakarta 9 - 15 November 2000.
Sudjoko: 1991.
“Dunia Seni Rupa”, dalam Seminar Nasional Pendidikan Seni Rupa dan
Globalisasi
Budaya, di UGM Yogyakarta oleh ISI Yogyakarta.
Sunarya,Yan
yan. 1999. “Redefinisi Kriya (=Craft?) Menjelang Abad ke-21” dalam
Konperensi
Kriya "Tahun Kriya dan Rekayasa 1999". Institut Teknologi
Bandung, 26 November 1999.
Supangkat, Jim
dan Asmujo. 1998. "Mengungkap Rupa Dekoratif, Makna yang Berlapis"
dalam
Catalogue Pameran Mengungkap Rupa Dekoratif Makna yang Berlapis.
Comments
Post a Comment